Find Us On Social Media :

Fakta Dibalik Hebohnya Ganja untuk Pengobatan juga Terapi Cerebral Palsy, Ternyata ...

Problematika ganja medis di Indoensia.

Namun Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.

Hanya saja penelitian tersebut belum terlaksana.

Menteri Kesehatan waktu itu, Nila Moeloek, beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.

Perlu juga diketahui, pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis masih terbatas, meski ada bukti ilmiah kuat yang mendukung penggunaannya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang langka.

Sebuah studi yang terbit pada 2021 menganalisis data dari 90 pengasuh anak-anak berusia di bawah 18 tahun yang menggunakan perawatan ganja medis di Swiss.

Baca Juga: Semakin Dekat, Ini Prediksi Puncak Covid-19 Omicron BA.4 dan BA.5 Menurut Menkes

Sekitar 66% partisipan studi melaporkan perbaikan kesehatan. Namun 43% pengasuh melaporkan mereka menghentikan perawatan karena kurang efektif atau muncul efek samping.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa perlu dilakukan uji klinis acak (randomized control trial, RCT) dengan THC dan CBD yang terstandarisasi untuk menilai kemanjuran ganja medis dalam merawat berbagai penyakit serta efek jangka panjangnya pada anak-anak.

Ganja Medis untuk Cerebral Palsy

Sedangkan menurut Irawati Hawari, selaku dokter spesialis syaraf sekaligus penasehat di Yayasan Epilepsi Indonesia, juga mengatakan belum ada cukup penelitian mengenai kemanjuran ganja sebagai obat, serta keamanan jangka panjangnya.

Beberapa penelitian menemukan kaitan antara penggunaan ganja dengan gangguan psikotik atau skizofrenia. Walaupun disebutkan bahwa jumlah pengguna ganja yang mengembangkan skizofrenia sangat sedikit, dan beberapa gen diduga turut memengaruhi risikonya.

Meskipun Dr. dr. Irawati bersimpati pada para orang tua pasien cerebral palsy yang hampir putus asa mencari perawatan untuk anaknya, ia berkeras bahwa masih banyak pengobatan lain yang tersedia.

"Misalnya untuk gejala otot kaku (spastic) dan gangguan koordinasi akibat cerebralpalsy, itu ada botox (botulinum toxin) untuk mengurangi kakunya, ada obat-obat pelemas otot, dan fisioterapi," katanya kepada BBC News Indonesia.

"Banyak sekali obat-obatan yang berdasarkan evidence-based medicine, yang seluruh dunia sedang mengakuinya. Justru yang cannabinoid oil inilah yang masih banyak negara yang belum setuju penggunaannya," ia menjelaskan.

Selain itu, menurut Dr. dr. Irawati, persepsi masyarakat juga perlu diperhitungkan sebelum melegalkan ganja medis. Pasalnya, belum banyak masyarakat yang paham perbedaan ganja medis (CBD) dan ganja rekreasi.

Baca Juga: Semakin Dekat, Ini Prediksi Puncak Covid-19 Omicron BA.4 dan BA.5 Menurut Menkes

Tapi mengutip Cerebral Palsy Guidance, sebuah penelitian yang diterbitkan oleh NIH pada 2007 menyatakan bahwa pengalaman klinis dan penelitian pada hewan menunjukkan manfaat ganja medis pada gejala cerebral palsy.

Zat aktif dalam ganja membantu mengendalikan kejang parsial yang sering menjadi gejala pada orang dengan spastik quadriplegia.

Spastik quadriplegia adalah bentuk dari cerebral palsy yang paling parah, memengaruhi keempat anggota gerak, wajah, dan badan.(*)

Baca Juga: Pengobatan Ruqyah Untuk Masalah Medis dan Untuk Siapa Saja, Ini Caranya