Find Us On Social Media :

Bayi Prematur Rentan Mengalami Masalah Kesehatan Mental Saat Besar Nanti

Bayi prematur berisiko mengalami masalah kesehatan komplek, mulai dari fisik hingga mental.

GridHEALTH.id - Bayi prematur menurut Mayo Clinic ada beberapa jenis:

Prematur akir: lahir antara 34 dan 36 minggu kehamilan.

Prematur sedang: lahir antara 32 dan 34 minggu kehamilan.

Sangat prematur: lahir pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu.

Prematur ekstrem: lahir pada atau sebelum 25 minggu kehamilan.

Jadi dari sini bisa diketahui, pada umumnya bayi prematur dapat dipahami sebagai bayi yang tidak memiliki waktu yang cukup untuk tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibu, sebelum ia dilahirkan.

Walhasil bayi prematur memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesehatan karena organ tubuhnya belum siap penuh lepas dari rahim ibu.

Semakin dini bayi lahir, semakin besar kemungkinannya mengalami berbagai masalah kesehatan.

Menurut Kids Health, ada banyak masalah kesehatan bayi permatur yang bisa terjadi.

Baca Juga: 7 Gejala Pembengkakan Jantung, Dialami Pesinetron Dicky Topan Sebelum Meninggal

* Anemia: ketika bayi tidak memiliki cukup sel darah merah.

* Apnea: ketika bayi berhenti bernapas untuk waktu yang singkat, detak jantung mungkin lebih rendah, dan kulit bisa menjadi pucat atau biru.

* Displasia bronkopulmoner dan sindrom gangguan pernapasan: masalah dengan pernapasan

* Hiperbilirubinemia: ketika bayi memiliki kadar bilirubin yang tinggi, sehingga menyebabkan

* penyakit kuning dengan menguningnya kulit dan bagian putih mata.

* Enterokolitis nekrotikans: penyakit usus yang serius.

* Patent ductus arteriosus: masalah dengan jantung.

* Retinopati prematuritas: masalah dengan retina mata.

* Infeksi sepsis: bisa didapat bayi sebelum, selama, atau setelah lahir.

Baca Juga: Punya Aroma yang Khas, Ini 6 Manfaat Makan Natto Bagi Kesehatan

Karenanya penanganabn bayi prematur spesial.

Selain itu, bayi prematur pun rentan mengalami masalah kesehatan mental saat dia tumbuh dewasa kelak.

Menurut Anggita Hotna Panjaitan, M.Psi., Psikolog dari Mentari Anakku dan Biro Psikologi Attentive, melasnir nakita.id (7/07/2022), memang beberapa penelitian mengatakan bahwa anak yang terlahir prematur rentan mengalami gangguan kesehatan mental di masa mendatang.

"Berdasarkan beberapa penelitian, memang sudah dilaporkan bahwa ada kecenderungan anak yang mengalami prematur bisa mengalami kerentanan di masa dewasa juga terhadap gangguan kesehatan mental atau isu-isu yang berkaitan dengan emosi itu, iya memang benar," tutur Anggita dalam wawancara ekslusif bersama Nakita, Rabu (6/7/2022).

Tapi Anggita mengaskan, tidak semua anak yang terlahir prematur akan mengalami hal tersebut. Karena, terkadang penelitan yang dilakukan pengambilan samplenya tidak banyak.

"Tapi, bukan berarti semua anak prematur akan mengalami hal tersebut juga. Karena biasanya, penelitian-penelitian yang dilakukan jumlah sampelnya tidak banyak," sambungnya.

Bedasarkan penelitian, bayi prematur rentan mengalami depresi karena ada perkembangan yang belum matang di otaknya.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan orangtua untuk melindungi anaknya dari gangguan kesehatan mental.

"Mulai dari keterampilan mengenal dan mengelola emosi, keterampilan interpersonalnya supaya dia bisa mendapat dukungan sosial di masa dewasa, keterampilan mengelola stres, problem solving, serta relasi yang ramah, dan hangat untuk anak," sambung Anggita.

Baca Juga: Healthy Move, Jenis Kegiatan yang Sesuai Untuk Tumbuh Kembang Anak SD

Anggita juga menyarankan, supaya para orangtua bisa mengajarkan keterampilan mengenal dan mengelola emosi sejak anak berusia dini.

Karena, bahasa pertama anak adalah dengan menangis.

Nah, ketika anak sudah mulai bisa mengerti omongan dari orangtuanya, maka itu waktu yang pas untuk dikenalkan berbagai emosi.

"Dari kecil, tapi yang pasti dimulai dari pengenalan emosi karena anak mulai lahir dengan menangis, maka yang ia tahu nangis itu sebagai simbol sedih, marah, frustasi, dan apapun itu bahasa pertama, maka ketika anak sudah bisa mulai mengakses informasi, mengerti omongan orangtua, maka bisa dikenalkan emosi," ungkap Anggita.

Mulai dari senang, sedih, bahagia, kesal, dan sebagainya.

Ajari juga anak bagaimana cara mengontrol emosi tersebut.(*)

Baca Juga: Wanita Korban Pelecehan Seksual Lebih Rentan Terkena Hipertensi, Studi