GridHEALTH.id - Disadari atau tidak,produk berbahan merkuri sering digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang medis, kecantikan, hingga paling banyak ditemui pada kehidupan pertambangan, yang jika tidak digunakan dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya keracunan.
Keracunan akibat merkuri banyak ditemui di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia yang termasuk ke dalam jajaran negara dengan tingkat keracunan merkuri tertinggi di dunia.
Lalu, sudahkah Indonesia keluar dari permasalahan jumlah kasus tertinggi akibat keracunan merkuri di tahun 2022? Khususnya dalam bidang pertambangan emas skala kecil yang banyak menimbulkan keracunan merkuri, berikut ulasannya.
Tahun 2014, menurut pemaparan yang disampaikan oleh Dr Stephan Bose-O'Reilly, seorang pakar kesehatan lingkungan dari University Hospital, Munich menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam peringkat tertinggi untuk intoksikasi atau keracunan akibat merkuri.
Beberapa produk sehari-hari ada yang mengandung bahan-bahan merkuri, inilah diantaranya adalah barometer, batre, amalgam gigi, elektronik, perhiasan, termometer, bola lampu, hingga peralatan medis dan obat-obatan.
Konsumsi merkuri di seluruh dunia biasanya digunakan pada perawatan gigi sebesar 8%, perangkat kontrol dan pengukur sebesar 7%, peralatan listrik dan elektronik 7%, pertambangan emas skala kecil 24%.
Lalu vinyl chloride monometer sebesar 21%, produksi chlorine 15%, batre sebesar 13%, dan lainnya.
Konsumsi merkuri yang tidak tepat akan memberikan efek fatal bagi manusia, salah satunya keracunan merkuri yang menyebabkan masalah kesehatan serius dan di Indonesia banyak dijumpai kasus keracunan merkuri khususnya pada anak.
Efek dari Keracunan Merkuri
Baca Juga: Awas, Inilah 10 Produk Kosmetika Bermerkuri yang Diumumkan BPOM
Keracunan akibat merkuri adalah salah satu hal yang harus dihindari, karena memiliki efek yang begitu fatal.
Beberapa kelompok rentan diantaranya adalah anak, ibu, wanita, dan ekologi seperti air, tanah, ikan, hingga tumbuhan, yang jika sudah keracunan merkuri akan berlanjut pada kesehatan manusia.
Beberapa tanda dan gejala yang biasa dialami dari keracunan bahan merkuri adalah munculnya rasa depresi, sifat lekas marah, perasaan malu, masalah pada memori, tremor, perubahan dalam penglihatan atau pendengaran, ataksia (limbung), hingga mati rasa dan kesemutan di tangan, kaki, atau sekitar mulut.
Efek yang merugikan dari keracunan merkuri adalah gejala baru akan muncul setelah akumulasi selama lima hingga sepuluh tahun dan sulit untuk diatasi.
Saat merkuri masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan keracunan merkuri dan dapat merusak cerebellum atau otak kecil manusia, hasilnya berbagai fungsi organ yang berhubungan dengan otak kecil akan terganggu, terutama berkaitan dengan fungsi motorik.
Oleh karena itu, Environmental Protection Agency (EPA) US juga mendorong konsumen untuk lebih memilih produk tanpa merkuri juga menghindari lingkungan yang mengandung merkuri, seperti daerah pertambangan.
Kasus Keracunan Merkuri di Indonesia
Penggunaan merkuri di Indonesia selain ditemukan dalam beberapa produk medis, keseharian, hingga kecantikan, biasanya juga digunakan untuk tambang emas skala kecil.
Namun sayangnya, karena kurangnya pengawasan di lapangan mengakibatkan banyak orang yang mengimpor merkuri secara ilegal masuk ke Indonesia, tanpa peduli dampak membahayakan dari keracunan merkuri.
Baca Juga: Tanda Awal Infeksi Kulit Akibat Merkuri Pada Kosmetik, Ini Cirinya
Apalagi fakta menyebutkan racun merkuri bisa bertahan di lingkungan selama 150 tahun, sedangkan racun dari merkuri pertambangan menjadi salah satu penyumbang emisi global yang banyak, diperkirakan mencapai 37% dari emisi global atau mencapai 727 ton per tahun.
Untuk di Indonesia sendiri, pertambangan emas skala kecil menjadi sumber pengguna merkuri terbanyak dan paling berdampak pada lingkungan dan tubuh manusia.
Setidaknya ada bayi lahir cacat dan anak-anak dengan masalah kesehatan serius dihadapi di lingkungan pertambangan emas, seperti di Mandailing Natal di Sumatera Utara, Sekotong di Lombok, Bombana di Sulawesi Tenggara, dan Cisitu di Banten.
Target Nol Merkuri di Tambang dan Kesehatan Indonesia
Mengingat belum adanya perubahan signifikan di Indonesia sejak data terakhir pada tahun 2014, akhirnya Maret lalu Indonesia dalam Konferensi Para Pihak (COP) ke-4 dari Konvensi Minamata tentang Merkuri menyepakati berbagai hal dalam upaya mengurangi jumlah keracunan merkuri.
Selain itu, Indonesia juga memiliki target nol merkuri khususnya dalam bidang tambang yang akan sangat berdampak pada kesehatan, target ini direalisasikan dengan adanya Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) yang telah ditetapkan sejak tahun 2019 lalu.
RAN PPM diprioritaskan pada empat bidang, yaitu manufaktur dengan target pengurangan merkuri 50% pada 2030; energi dengan target pengurangan merkuri 33,2%; pertambangan emas skala kecil (PESK) dengan target pengurangan merkuri 100% pada 2025; dan kesehatan dengan target pengurangan merkuri sebesar 100% pada tahun 2020.
Diharapkan dengan penerapan RAN PPM yang maksimal ini bisa menjadi langkah untuk Indonesia mencapai target nol merkuri, khususnya di bidang tambang dan kesehatan.
Sehingga di tahun 2022 dan ke depannya kasus keracunan merkuri di Indonesia dapat terus menurun.(*)
Baca Juga: Ibu Hamil Dilarang Makan Ikan, Ternyata Alasannya Masuk Akal