Find Us On Social Media :

Pemeran Wanita Kebaya Merah Ternyata Bukan Orang Normal, Penyintas Dissociative Identity Disorder

Ternyata pemeran wanita Kebaya merah mengalami Dissociative Identity Disorder.

GridHEALTH.id - Kasua kebaya merah yang menghebohkan ternyata memprihatinkan. Sebab pemeran wanitanya bukan orang normal, dirinya penyintas Dissociative Identity Disorder.

Fakta ini diungkapkan oleh Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Dirmanto.

Menurut Dirmanti wanita 24 tahun pemeran Kebaya Merah sempat memperoleh surat kuning, tanda pernah memperoleh penanganan medis aspek kejiwaan.

Surat kuning tersebut diperoleh AH setelah sempat melakukan pengobatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Jatim, yang berlokasi di Kota Surabaya."Informasi yang kami Terima dari penyidik, yang bersangkutan (AH) merupakan seseorang yang berkepribadian ganda," katanya saat ditemui di Lobby Gedung Ditreskrimsus Mapolda Jatim, Kamis (10/11/2022), dikutip dari Surya.co.id (11/11/2022).Lebih lanjut, "Nanti itu kita pastikan ya. Kalau sudah ada pemeriksaan dari ahlinya. Jadi sementara yang kami dapatkan, bahwa dia ke salah satu RS di sana, merupakan salah satu pasien konsultasi terhadap kejiwaannya," papar Dirmanto.

Temuan Polisi itu diamini oleh Ketua Pengaduan dan Humas RSJ Menur Jatim, Basuni mengatakan, AH pernah memperoleh pengobatan di RSJ Menur, Jatim.Hanya saja, kapan waktu dan tanggal AH menjalani pengobatan tersebut.Ia mengaku, pihaknya belum melihat data lengkap dari rekam medis."Yang jelas beliaunya pernah berobat di RSJ Menur," ujarnya saat dikonfirmasi TribunJatim.com (9/11/2022).

Dissociative Identity Disorder Berbeda dengan Bipolar

Baca Juga: Jika Tidak Percaya Buktikan Malam Ini, Tips dari Dokter Boyke; Anti Loyo di Ranjang untuk Usia 40 ke Atas, Khusus Pria

Tahu kah, apa yang diidap pemeran utama wanita Kebaya Merah, Dissociative Identity Disorder, bukanlah bipolar, seperti kebanyakan orang sangka.

“Bipolar itu adalah gangguan emosi, emosinya berayun. Ada fase di mana yang mengidap bipolar itu merasa normal, ada juga fase yang disebut fase manik.” ungkap dokter spesialis kejiwaan dr. Untung Sentosa, M.Kes, SpKJ, FIAS, saat menjadi pembicara dalam gelar wicara virtual “Inbox” yang digelar Radio Unpad, Sabtu (31/10/2020), dikutip dari unpad.ac.id (2/11/2020).

Menurutnya ada tiga jenis bipolar, yaitu bipolar tipe I, tipe II, dan tipe III.

Setiap jenis memiliki gejala yang berbeda.

Pengidap tipe I memiliki manik atau rasa senang yang tidak terkendali sangat tinggi, tetapi depresinya sama.

“Lalu, seseorang yang mengidap tipe II, maniknya tidak terlalu tinggi, tetapi hipoman. Pada tipe III, seseorang yang mengidap bipolar ini maniknya tidak ada, tidak ada hipoman juga, tetapi dapat tiba-tiba merasa down yang juga dapat mengarah pada bunuh diri,” paparnya.

Sedangkan Dissociative Identity Disorder (DID) atau yang lebih dikenal sebagai kepribadian ganda, dilansir dari psikologi.unnes.ac.id (23/07), termasuk ke dalam bagian dari kelompok Dissociative Disorder (gangguan disosiatif).

Dissociative Disorder sendiri merupakan gangguan atau diskontinuitas dalam integrasi normal, kesadaran, memori, identitas, emosi, persepsi, representasi tubuh, kontrol motorik, dan perilaku.

Gejala disosiatif ini berpotensi untuk mengganggu setiap area fungsi psikologis manusia dalam aktivitasnya sehari-hari.

Dissociative Identity Disorder

DID merupakan gangguan identitas yang ditandai dengan adanya dua atau lebih kepribadian yang berbeda.

Baca Juga: Perhatikan Ciri-ciri Ginjal Bocor dan Penanganan yang Harus Dilakukan

Masing-masing identitas kepribadian tersebut dapat memiliki nama, usia, gestur, perilaku, ras, hingga jenis kelamin yang berbeda-beda, tetapi semuanya dapat hidup berdampingan (coexistence) dalam diri seseorang.

Identitas “inti” adalah sebutan untuk kepribadian yang biasa atau sebenarnya, sedangkan kepribadian alternatif disebut sebagai “alter.”

Selain itu, kondisi lain yang menjadi ciri utama pengidap DID adalah terjadinya episode amnesia berulang.

Kondisi amnesia di sini berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk mengingat segala hal yang terjadi ketika kepribadian alternatif yang dimilikinya mengambil alih kepribadian inti. Itulah sebabnya, pengidap DID pada umumnya tidak menyadari bahwa ia memiliki kepribadian alternatif.

DID sendiri sangat langka terjadi dengan prevalensi sebesar 0.01-1% dari seluruh populasi. Gangguan ini dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi pada umumnya baru terdiagnosa ketika dewasa dan lebih sering terjadi pada pada wanita.

Pada anak-anak, DID tidak muncul dengan perubahan identitas, melainkan dengan gangguan mental yang menimbulkan masalah memori, konsentrasi, keterikatan, dan permainan traumatis. Pada remaja, agresivitas muncul dan mungkin hanya tampak sebagai gejolak remaja atau gejala gangguan mental yang lain.

Sedangkan, gejala pada individu yang lebih tua berkaitan dengan gangguan mood, obsesif kompulsif, paranoid, psikotik, atau bahkan gangguan kognitif yang disebabkan amnesia disosiatif.

Sedangkan Gejala DID:

* Gangguan secara berulang yang tidak dapat dijelaskan terhadap fungsi sadar dan rasa atas diri (sense of self) (misalnya munculnya suara-suara, tindakan, ucapan, pikiran, emosi, dan impuls yang mengganggu).

* Perubahan sense of self (misalnya secara sikap, preferensi, dan perasaan bahwa tubuh atau tindakan yang dilakukan bukan miliknya sendiri).

* Perubahan persepsi yang aneh (misalnya depersonalisasi atau merasa bahwa jiwanya terlepas, dan seolah melihat diri sendiri dari luar tubuhnya; derealisasi atau merasa bahwa lingkungan sekitarnya aneh, asing, dan tidak nyata).

Baca Juga: Cara Menjaga Kesehatan Tulang Punggung, Tetap Kuat di Usia Tua

* Amnesia berulang (tidak mampu mengingat aktivitas sehari-hari, informasi pribadi yang penting, atau peristiwa traumatis).

* Gejala neurologis fungsional yang berselang (intermittent).

Seiring berjalannya waktu, pengidap DID juga mungkin akan mengalami masalah kejiwaan lain, seperti :

* Kecemasan (anxiety) * Depresi * Penyalahgunaan NARKOTIKA * Gejala psikosis (delusi) * Gangguan makan dan tidur * Tendensi untuk bunuh diri dan upaya menyakiti diri sendiri (self-harm) (Dorahy et al., 2014; Dzilhaq, 2021).

Penangan DID

Beberapa gejala DID terutama yang berkaitan dengan depresi dan kecemasan dapat ditangani dengan bantuan obat antidepresan atau anti kecemasan.

Meskipun begitu, psikoterapi dinilai sebagai metode penanganan yang lebih efektif.

Psikoterapi dapat dilakukan secara individu, kelompok, atau terapi keluarga dengan berfokus pada beberapa hal berikut:

* Identifikasi dan pelepasan trauma yang tertahan di dalam tubuh * Relationship support * Manajemen faktor pemicu munculnya gejala * Mengelola perubahan perilaku yang tiba-tiba * Mindfulness dan self-awareness * Metode koping untuk mengelola emosi yang rumit.

Secara spesifik, berikut ini adalah beberapa jenis terapi yang bisa dilakukan:

* Cognitive Behavioral Therapy (CBT) * Dialectical Behavioral Therapy (DBT) * Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR).

Baca Juga: Terungkap, Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan Beracun, Timbulkan Kerusakan Organ dan Memicu Kematian

Sedangkan penyebab DID, utamanya karena peristiwa traumatis di masa kanak-kanak, seperti kekerasan, pelecehan, kecelakaan, bencana alam, peperangan, kematian, riwayat penyakit, dan kejadian luar biasa lainnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pengidap DID di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa menyatakan bahwa 90% dari mereka telah mengalami kekerasan seksual dan penelantaran ketika masih kanak-kanak.(*)

Baca Juga: Sempat Mengidap Ulkus Dekubitus Sebelum Meninggal Dunia, Inilah Penyakit Mematikan yang Menggerogoti Tubuh Rima Melati