Find Us On Social Media :

Jokowi Setujui Penarikan Cukai pada Minuman Berpemanis, Bisa Mencegah Penyakit Katastropik pada Masyarakat

Jokowi setujui cukai minuman berpemanis, efektifkah turunkan konsumsi gula masyarakat? Kenali dampaknya bagi kesehatan.

GridHEALTH.id – Aturan tentang perincian anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023 disebut salah satunya Presiden Jokowi telah menyetujui mengenai pengadaan pungutan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik.

Presiden telah menerbitkan aturan mengenai rincian APBN 2023 ini dan tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022, melansir dari Bisnis.com (14/12/2022) disebutkan aturan ini telah ditandatangani oleh Jokowi pada 30 November 2022.

Dengan adanya ini, sejalan dengan kondisi Indonesia yang saat ini mengalami darurat gula di masyarakat.

Bagaimana pemungutan cukai minuman berpemanis ini memberikan dampak pada kesehatan masyarakat? Simak ulasannya berikut ini.

Presiden Jokowi akan Menarik Cukai pada Minuman Berpemanis

Pendapatan negara terdiri sendiri terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan target penerimaan perpajakan pada 2023 sebesar Rp 2.021,22 triliun dan untuk PNBP sebesar Rp 441,39 triliun. Di mana di dalamnya termasuk cukai minuman berpemanis dalam kemasan sebesar Rp3,08 triliun.

Baca Juga: Tanda-tanda Dini Serangan Stroke, Segera Minum Aspirin dan ke Dokter

Rencana mengenai penarikan cuka minuman berpemanis sudah sempat digaungkan, namun mendapatkan berbagai tantangan.

Meringkas penjelasan dari laman fkm.unair.ac.id dijelaskan Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum pengendalian barang-barang yang berdampak negatif bagi masyarakat melalui cukai.

Undang-undang No.39 tahun 2007 pasal 2 ayat (1) huruf C menyatakan, barang tertentu dikenakan cukai yang mempunyai sifat atau karakteristik: “Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.”

Selain penarikan cukai pada minuman berpemanis dalam APBN 2023, Kemenkes sebagai badan kesehatan negara juga telah memperbaharui mengenai informasi tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji yang tercantum dalam Permenkes No 63/2015.

Dampak Kesehatan Penarikan Cukai Minuman Berpemanis

Tim GridHEALTH.id mencoba untuk menghubungi salah satu dokter pegiat media sosial, dr. Andi Khomeini Takdir Haruni, SpPD(K) yang akrab disapa Dokter Koko mengenai penarikan cukai minuman berpemanis dan dampaknya pada bidang kesehatan.

Baca Juga: Kaleidoskop 2022, Masyarakat Boleh Lepas Masker di Ruang Terbuka

Saat dihubungi secara langsung pada pagi ini (16/12/2022), Dokter Koko menyampaikan harapannya terhadap penarikan cukai pada minuman berpemanis, mengingat urgensitas masyarakat dalam menurunkan konsumsi gula,“Kita sudah sangat perlu mengurangi jumlah minuman berpemanis agar kadar konsumsi gula masyarakat Indonesia itu bisa ditekan.

"Kita berharap angka (penderita akibat gula) bisa diturunkan, bukan hanya soal menghemat anggaran kesehatan, tapi lebih ke kualitas kesehatan orang Indonesia itu sendiri, kalau orang-orang kita lebih sehat, kita harapkan mereka bisa lebih produktif, mereka bisa bekerja dengan baik, bersekolah, beribadah dengan baik. Secara komunitas kita lebih sehat dan lebih resilience."

Jika dilihat lebih jauh, Dokter Koko juga mengharapkan ada tiga hal yang dapat tercapai, pertama dalam jangka pendek diharapkan produsen dapat menurunkan jumlah kandungan gula pada setiap produknya, dari yang 10 gram atau lebih gula per kemasan menjadi kurang dari 10 gram dan menurutnya ini sudah sangat membantu.

"Saya berharap bahwa dengan adanya kebijakan mengenai penarikan cukai minuman berpemanis, produsen akan menurunkan jumlah gula yang berada dalam produk mereka, harapan kita itu."

Kedua, jika produsen mempertahankan cita rasa dan gula masih tetap dalam kadar yang sama, harganya kemungkinan akan naik lebih tinggi sehingga orang lebih selektif dan beralih, dengan demikian diharapkan dapat merubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat.

Baca Juga: Urin Penyintas Diabetes Berbau Manis, Waspada Tanda Komplikasi

Jangka menengahnya yang menjadi harapan dari bidang kesehatan seperti yang disampaikan oleh Dokter Koko adalah, "Kita harapkan konsumsi gula orang Indonesia secara kolektif itu berkurang, kalau berkurang maka kejadian penyakit-penyakit yang terkait dengan risiko resistensi insulin (yang menjadi awal dari penyakit diabetes melitus dan lainnya) akan turun."

Sehingga pada jangka panjang beban pengobatan berkurang tetapi produktivitas dapat meningkat.

Masyarakat Indonesia Darurat Penyakit Katastropik Akibat Konsumsi Gula Terlalu Tinggi

Untuk diketahui, penyakit katastropik adalah penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya dan membutuhkan waktu lama, hingga dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.

Data dari Kemenkes menunjukkan bahwa 28,7% masyarakat Indonesia mengonsumsi Gula, Garam, Lemak (GGL) melebihi batas yang dianjurkan, dengan kebiasaan mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari.

Dengan detailnya disebutkan dalam Riskesdas tahun 2018, sebanyak 61,27% penduduk usia 3 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari, 30,22% orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu. Sementara hanya 8,51% orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan.

Baca Juga: Makanan dan Minuman yang Dianjurkan Untuk Penderita Kanker Usus Besar Selama Masa Pengobatan

Tidak dapat dipungkiri, kebiasaan gaya hidup seperti ini telah membawa generasi Indonesia pada peningkatan prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada anak muda menjadi dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Dokter Koko juga menyampaikan, dengan kondisi ini maka sangat mungkin seseorang mengalami beragam penyakit katastropik seperti diabetes sejak dini, sedangkan penanganannya pun tidak murah karena memerlukan berbagai obat-obatan hingga insulin.

Lebih lanjut dirinya memberikan gambaran mengenai kebutuhan obat yang beragam dari penyakit diabetes, terlebih jika pasien memerlukan insulin dengan harga kisaran 200 ribu dan dengan bervariasi dosisnya.

"Beban yang ditanggung oleh BPJS untuk satu macam obat saja untuk pasien per bulan itu sudah (berkisar) satu juta, bayangkan kalau misal ada 10 juta pasien yang butuh insulin atau obat-obatan yang harganya juga tidak murah. Berarti untuk satu penyakit itu kita sudah kehilangan triliunan, bagaimana kalau ada dua atau tiga penyakit seperti itu?" katanya.

Segini Penggunaan Gula Harian Terbaik, Jika Tidak Ingin Sakit

Berdasarkan ketetapan yang disebutkan oleh Kemenkes, asupan gula, garam, dan lemak maksimum per harinya adalah 50 gram (4 sdm) gula, 2 gram (kurang dari 1 sdt) garam, dan 67 gram (5 sdm) lemak. “WHO sendiri merekomendasikan setengah dari itu, sekitar 25 gram,” kata Dokter Koko.

Baca Juga: 6 Pilihan Camilan Sehat untuk Diabetes, Bantu Menurunkan Gula Darah

Jika seseorang terus mengonsumsi gula secara berlebih, maka berikut ini beberapa penyakit yang sudah pasti mengintai kesehatan seseorang hingga penurunan kualitas hidup, seperti:

Lebih jauh Dokter Koko juga menyampaikan, "Kalau kita bisa tekan konsumsi gula, maka penyakit-penyakit kronis itu bisa lebih dimanage di bidang kesehatan. Angka seperti pasien diabetes itu sudah puluhan juta di Indonesia, yang obesitas itu juga puluhan juta di Indonesia, dan bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak."

Pada saat pandemi pun, disebutkan oleh Dokter Koko bahwa banyak pasien Covid-19 yang memiliki komorbid dan berasal dari gula, apalagi jika tidak dikelola dengan baik, maka menurutnya masyarakat memang sudah seharusnya mengurangi konsumsi gula. (*)

Baca Juga: Cara Menurunkan Gula Saat Sedang Naik dengan Cara Efektif dan Cepat