GridHEALTH.id – Stunting masih menjadi masalah besar di Indonesia, hingga membuat pemerintah telah mengadakan berbagai program pencegahan dengan anggaran yang tentunya tidak sedikit, mencapai Rp 44,8 triliun pada tahun 2022.
Kebijakan ini diambil tentunya untuk mendukung taget pemerintah dalam mencapai prevalensi stunting di angka 14% pada tahun 2024, dengan angka saat ini masih berada di 27% prevalensi stunting Indonesia.
Mirisnya, studi terbaru dari Health Collaborative Center (HCC) justru menunjukkan masih banyak pemahaman yang keliru di masyarakat mengenai stunting.
Kesalahan pemaknaan ini tentu dapat menghambat laju penurunan stunting di Indonesia.
Oleh karena itu, kenali berikut ini apa saja pemaknaan yang keliru dan dampak yang membahayakan bagi masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Tata Cara Diet Nanas untuk Menurunkan Berat Badan 5Kg dalam 5 Hari
Masyarakat Indonesia Masih Keliru Memahami Stunting
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh tim HCC dengan menggunakan metode Health Belief Model (HBM) menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang keliru dalam memahami stunting.
Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena dari WHO sendiri menyebutkan, untuk menghasilkan keberhasilan dalam kesehatan, maka sangat ditentukan dari pemaknaan sehat (self belief) setiap individu yang dapat berdampak pada kesehatan suatu komunitas atau bangsa.
Teori dari Janz & Becker tahun 1984 juga menyebutkan bahwa perilaku sehat ditentukan oleh kepercayaan individu terhadap makna kesehatan.
Dari subjek penelitian yang terdiri dari ibu dan bapak yang telah memiliki anak, perempuan dan laki-laki belum menikah usia 20-35 tahun, dan usia SMA 16-19 tahun, ditemukan bahwa 96% tahu atau pernah mendengar kata stunting, 80% percaya bahwa stunting nyata terjadi di Indonesia.
Selain itu, 98,3% subjek penelitian mengetahui bahwa stunting berbahaya untuk kesehatan anak dan 71% masyarakat percaya stunting terjadi juga di kota, tak hanya pedesaan.
Baca Juga: Obat Mengatasi Infeksi Mata, Mana Lebih Efektif Insto atau Rohto?