Studi terhadap 278 responden di sana yang berusia rata-rata 59 tahun, mayoritas perempuan, menerima kemoterapi parenteral dan obat oral antikanker, serta belum pernah menggunakan telemedicine, menunjukkan sebagian besar pasien puas dengan layanan telemedicine.
Para responden setuju bahwa telemedicine memungkinkan mereka menerima dukungan yang lebih nyaman, menghemat biaya perjalanan, dan memperoleh perawatan yang lebih tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan mereka.Lainnya, sebuah studi mengenai pengalaman dan kepuasan pasien menggunakan telemedicine untuk layanan rawat jalan di Pusat Perawatan dan Penelitian Kanker Nasional Qatar (the National Center for Cancer Care and Research, Qatar) selama COVID-19 menunjukkan lebih dari 80% pasien merasa puas dengan kualitas telekonsultasi yang disediakan, 87% merasa bahwa telemedicine dapat memenuhi kebutuhan perawatan mereka, dan 90% akan tetap melakukan telekonsultasi di masa depan.
Partisipan dalam studi ini terdiri dari 297 pasien berusia di atas 18 tahun, sebagian besar perempuan, memiliki keganasan tumor padat, kondisi hematologi jinak, dan keganasan hematologi, serta belum pernah melakukan telekonsultasi. Dikutip dari National Cancer Institute (NCI), meskipun tidak dapat sepenuhnya menggantikan perawatan langsung, telehealth menawarkan kenyamanan pasien, penghematan waktu dan biaya, penjadwalan yang fleksibel, akses ke spesialis yang jauh, dan mengurangi paparan kuman.
Baca Juga: Berapa Kadar Asam Urat Normal Laki-laki? Tiap Kelompok Usia Berbeda
Hal ini telah dirasakan oleh satu keluarga dengan anak perempuan berusia 7 tahun bernama Eva yang didiagnosis tumor Wilms stadium lanjut pada 2020.Mengenai telemedicine, Dalam acara IG Live #GoodTalkSeries bertema “A-Z Survivor Care Plan untuk Penyintas Kanker” yang diselenggarakan Good Doctor, disebutkan seorang penyintas kanker membutuhkan Survivor Care Plan (rencana perawatan kesehatan) yang meliputi catatan kanker dan riwayat pengobatan, pemeriksaan atau tes lanjutan yang dibutuhkan, dan rencana perawatan kelangsungan hidup di masa mendatang.
Pada kesempatan tersebut, Clara Sambudiono, penyintas kanker nasofaring, mengatakan dia mengetahui dirinya terkena kanker nasofaring pada 2011 saat dia masih SMA. Kanker nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.
“Awalnya saya merasa hidung tersumbat sehingga tidak bisa bernapas dengan normal; saya perlu posisi-posisi tertentu agar bisa bernapas dengan normal. Pilek saya tidak sembuh-sembuh, pusing, tulang punggung terasa sakit seperti ada beban, kemudian muncul benjolan di leher kanan, beberapa bulan kemudian muncul juga benjolan di sebelah kiri. Akhirnya, saya memeriksakan diri ke dokter dan dokter menyatakan saya terkena kanker nasofaring stadium 3B.”
Pada kasus Clara, dokter menyatakan bahwa penyebabnya adalah virus EBV (Epstein-Barr virus).
Baca Juga: Telapak Tangan Sering Keringet Basah, Apakah Tanda Jantung Lemah?
Taukah, banyak pemeriksaan yang harus Clara jalani sebelum memulai pengobatan. Dimulai dari biopsi, berkonsultasi dengan beberapa dokter untuk mengetahui efek samping dari proses pengobatan yang akan dijalani, MRI, CT-Scan, endoskopi, dan operasi gigi geraham.
Setelah itu, Clara menjalani kemoterapi dan radioterapi. Clara menjalani proses pengobatan itu selama delapan bulan. Selesai proses pengobatan, selama enam bulan Clara masih menjalani berbagai pemeriksaan. Kemudian, proses pemeriksaan mulai dikurangi jangka waktunya hingga setelah dua tahun dari terdiagnosis, saat itu Clara baru dinyatakan sembuh dari kanker nasofaring.
Namun, Clara tetap melakukan cek kesehatan secara rutin karena dia mengingat bagaimana susahnya dulu untuk sembuh dan dukungan keluarga serta teman-teman yang luar biasa untuknya.