GridHEALTH.id - Sejak 15.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetik seperti tes DNA dan penemuan fosil, anjing termasuk kategori hewan mamalia karnivora yang telah mengalami proses domestifikasi (pengadopsian prilaku hewan dari kehidupan liar ke dalam kehidupan manusia).
Adanya proses domestifikasi berdampak terhadap perubahan pola prilaku anjing, dimana sebelumnya anjing yang bersifat liar berubah menjadi anjing yang jinak, bisa dilatih dan diajak bermain, serta tinggal bersama manusia.
Pola prilaku tersebut masih bertahan sampai sekarang sehingga anjing kini tidak hanya sekedar hewan peliharaan, melainkan sudah menjadi “teman hidup” manusia.
Tapi ada juga yang menjadikan anjing sbagai santapan. Hal tersebut tak terlepas dari maraknya peredaran penjualan daging anjing untuk dikonsumsi.
Salah satu olahan daging anjing yang banyak beredar yaitu sate anjing.
Tingginya konsumsi daging anjing saat ini tidak terlepas dari makin menjamurnya warung-warung RW (Rintek Wuuk, istilah dalam bahasa Manado yang berarti “bulu halus” alias sebutan lain untuk anjing).
Konsumsi daging anjing pun di Indonesia didukung oleh mitos yang beredar di masyarakat tentang khasiat mengkonsumsi daging anjing yang mampu mengatasi penyakit asma, beberapa alergi, sampai meningkatkan gairah seksual.
Padahal, jika ditinjau dari segi kesehatan, daging anjing justru membahayakan untuk dikonsumsi.
UU Tentang Daging Anjing
Unyuk itulah, Pemda Bali sendiri telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/DISNAKKESWAN/2019 tentang pelarangan perederan dan perdagangan daging anjing, merupakan salah satu solusi guna mencegah penjualan maupun peredaran daging anjing yang ada di Bali.
Dalam instruksi tersebut, ditekankan bahwa daging anjing bukanlah bahan pangan asal hewan yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Baca Juga: Bayi 16 Bulan di Bekasi Miliki Berat Badan 27 Kilogram, Inilah Bahaya dan Komplikasi Obesitas