GridHEALTH.id - Saat jatuh sakit, obat menjadi hal pertama yang akan dicari oleh seseorang.
Ini tentunya merupakan hal yang wajar, karena dengan minum obat, gejala dari penyakit yang sedang dialami dapat mereda.
Setiap orang mempunyai kriteria tertentu dalam memilih obat, salah satunya berkaitan dengan faktor harga.
Masih tertanam di pikiran masyarakat, bahwa obat dengan harga yang mahal lebih berkualitas dan efektif dalam membantu proses penyembuhan.
Tapi nyatanya, faktor harga tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas obat yang dikonsumsi, lo.
Hal tersebut terbukti dari sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds), kolaborasi antara Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam.
Apa Hasil Studi Tersebut?
Para peneliti yang melakukan studi ini, meneliti sekitar 1.274 sampel obat yang didistribusikan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Berasal dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, Medan, Labuhan Batu, Surabaya, Kabupaten Malang, Kupang, dan Timor Tengah Selatan.
Sepertiga di antara sampel obat tersebut mempunyai harga 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan produk yang sejenis.
Hasilnya ditemukan, harga obat yang ada di Indonesia tidak mencerminkan kualitas. Karena baik yang lebih murah ataupun mahal, kualitas keduanya tetap sama.
Penelitian ini diluncurkan seiring dengan cita-cita global untuk memastikan akses terhadap obat-obatan dan vaksin yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua masyarakat.
Baca Juga: Selain Minum Obat, Bisa Coba Lakukan Akupuntur untuk Atasi Asam Urat
Ini pun juga sesuai dengan rencana pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditargetkan pada 2030.
Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, Co-Principal Investigator of STARmeds mengatakan, "Kami tergerak melakukan penelitian ini pada saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis."
"Kami tertarik untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," sambungnya dalam Kelas Jurnalis oleh STARmeds: Menyuarakan Isu Kualitas Obat di Indonesia, Selasa (3/10/2023).
Sampel yang dipelajari dalam studi ini terdiri dari lima jenis obat untuk masalah kesehatan tertentu.
Di antaranya antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone).
Tingkat kegagalan pengujian kualitas obat jauh lebih tinggi pada antibiotik dibandingkan obat-obatan lain.
Prevalensi gagal pengujian dalam laboratorium yang telah disesuaikan dengan volume pasar untuk antibiotik adalah 6,8 persen, dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik, dengan mayoritas sampel gagal dalam pengujian disolusi.
Profesor Yusi mengatakan, “Ini mengkhawatirkan, jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten.”
Sebagai informasi tambahan, sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi (15 dari 21 obat) dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace.
Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar.
STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait. (*)
Baca Juga: Tekanan Darah Rendah Tidak Minum Obat Apakah Aman? Berikut Penjelasannya