Find Us On Social Media :

Varian COVID-19 JN.1 Masuk Indonesia, Kenali Gejala dan Karakteristiknya

Varian JN.1 memiliki potensi mengelabui imunitas.

GridHEALTH.id - COVID-19 varian JN.1 telah terdeteksi penyebarannya di Indonesia.

Setidaknya sudah ada empat kasus positif yang berkaitan dengan varian COVID-19 ini, 3 di antaranya ada di Jakarta dan 1 di Batam.

Diketahui, kasus infeksi varian JN.1 pertama terjadi pada 17 November dan yang keempat pada 13 Desember 2023.

Sebagai informasi, varian COVID-19 ini menjadi pemicu terjadinya lonjakan kasus di negara tetangga Singapura.

Selain itu, varian ini juga ditemukan di Amerika Serikat yang diperkirakan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mencakup 15-29 persen dari total keseluruhan kasus.

Karakteristik COVID-19 JN.1

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, varian COVID-19 ini ditemukan pada pertengahan tahun ini.

Varian JN.1 berkerabat dekat dengan strain Omicron lainnya, varian BA.2.86. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikannya sebagai variant of interest (VOI).

Varian ini memiliki lebih banyak mutasi dibandingkan strain induknya BA.2.86 yang memiliki lebih dari 30 mutasi, membedakannya dengan varian Omicron lain seperti XBB.1.5.

Dicky Budiman mengatakan, kenapa varian COVID-19 ini perlu dicermati karena diprediksi punya potensi meningkatkan kasus infeksi dan re-infeksi.

"Karena di antara subvarian yang lain sampai saat ini, JN.1 memiliki kemampuan menembus imunitas," katanya saat dihubungi oleh GridHEALTH, Selasa (19/12/2023).

Gejala yang ditimbulkan dari infeksi varian ini memiliki kemiripan dengan yang disebabkan oleh strain yang lain.

Baca Juga: 4 Kasus COVID-19 Varian JN.1 Terdeteksi di Indonesia, Ada di Jakarta dan Batam

Di antaranya sakit tenggorokan, batuk, pilek, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, demam atau menggigil, dan hilangnya indera perasa atau penciuman.

Dari segi keparahan atau fatalitasnya, menurut Dicky juga tidak berbeda dengan subvarian lain.

Meski potensinya menyebabkan puncak gelombang COVID-19 yang tingggi seperti pada masa pandemi lalu terbilang rendah, tapi tindakan pencegahan dan perlindungan tetap diperlukan.

Terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak, orang dengan komorbid atau penyakit penyerta, dan lansia.

"Upaya mencegah agar masyarakat tidak terinfeksi, tidak terdampak langsung merupakan hal yang sangat penting. Dengan cara apa? 5M, PHBS (pola hidup bersih dan sehat), maupun vaksinasi booster," jelasnya.

"Karena meskipun dampak atau jenis gelombang yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan semasa pandemi, tapi di setiap gelombang itu akan ada korban atau orang yang terdampak," sambungnya.

Selain itu, upaya pencegahan dan perlindungan diperlukan karena infeksi berulang berisiko meningkatkan terjadinya long COVID-19 yang dapat menurunkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.

Kenapa COVID-19 Terus Bermutasi?

Alasan kenapa COVID-19 terus bermutasi dan menghasilkan varian baru meski sudah dinyatakan sebagai endemi, merupakan sifat alami dari virus RNA.

RNA merupakan salah satu dari jenis asam nukleat, yang membuat virus dikategorikan sebagai makhluk hidup.

"Karena karakter dari virus RNA atau SARS-CoV-2 ini mudah dan cenderung terus bermutasi untuk mempertahankan diri," ujarnya.

Karena itu, Dicky mengingatkan untuk menggenjot pemberian vaksinasi kepada masyarakat untuk meningkatkan antibodi. Apalagi, saat ini, sudah ada vaksin COVID-19 buatan sendiri, seperti INAVAC dan IndoVAC. (*)

Baca Juga: Data dan Fakta Kasus COVID-19 di Amerika Serikat, Waspada Jelang Masa Liburan