GridHEALTH.id - Sebagai negara dengan jumlah pasien positif Covid-19 terbanyak di dunia, Amerika Serikat kini tampaknya keteteran setelah meninggalnya George Floyd.
Pria berkulit hitam George Floyd meninggal dunia di tangan seorang polisi yang juga mantan rekan kerjanya, Derek Chauvin.
Kendati demikian, kini pasca kematian George Floyd, AS dipenuhi para demonstran di berbagai sudut kota.
Terlihat kobaran api panas di berbagai ruas jalan, bahkan tak sedikit toko ternama yang berhasil dijarah.
Melihat hal ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak tinggal diam.
Kabarnya Trump menurunkan ribuan tentara bersenjata lengkap guna memadamkan kerusuhan yang terjadi di negara adidaya tersebut.
Ucapannya itu muncul setelah bangunan dan monumen di sekitar Gedung Putih menjadi korban vandalisme dalam aksi protes terkait kematian George Floyd.
"Apa yang terjadi pada kota (Washington) semalam adalah hal memalukan," ujar Trump, di tengah suara tembakan gas air mata dalam aksi protes di dekat Gedung Putih, dilansir dari Kompas.com.
"Saya menempatkan ribuan tentara bersenjata lengkap, militer, dan penegak hukum untuk menghentikan kerusuhan, penjarahan, vandalisme, dan serangan nakal," jelasnya.
Dilansir AFP, Senin (1/6/2020), presiden berusia 73 tahun itu mengecam kericuhan dalam demonstrasi sebagai "terorisme domestik".
"Saya ingin dalang kerusuhan ini tahu, kalian akan menghadapi hukuman berat dan dipenjara dalam waktu yang lama," ancam dia.
Saat Trump mengatakan itu, AFP melaporkan, terdengar suara tembakan gas air mata dan granat setrum untuk membubarkan pengunjuk rasa di luar Gedung Putih.
Baca Juga: Akui Wajahnya Aneh, Remaja Ini Diam-diam Operasi Plastik Hasilnya Mengejutkan!
Dia juga menyerukan kepada gubernur negara bagian untuk mengerahkan Garda Nasional dalam jumlah besar, sehingga mereka bisa "mendominasi" pendemo.
Selepas menyatakan itu, dia berjalan menuju Gereja Episkopal St John, dikenal juga sebagai Gereja Presiden, yang rusak parah karena kericuhan.
Sepekan setelah kematian Floyd, hasil otopsi pun dirilis, di mana penyebab kematian Floyd adalah pembunuhan yang dilakukan Derek Chauvin, polisi yang menindihnya.
Proses pemeriksaan post-mortem itu dilakukan Aleccia Wilson, pakar di Universitas Michigan, berdasarkan permintaan pihak keluarga.
Wilson dikenal sebagai dokter yang juga menangani jenazah Eric Garner, yang tewas di tangan polisi pada 2014 dan memunculkan gerakan Black Lives Matter.
"Bukti ini konsisten dengan sesak napas mekanis sebagai penyebab kematian, dengan kematiannya merupakan pembunuhan," terang Wilson dalam konferensi pers. (*)
#hadapicorona #berantasstunting
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar