GridHEALTH.id - Pemerintah baru saja mengakui bahwa istilah new normal adalah sebuah diksi yang salah.
Sehingga pemerintah harus menggantinya dengan istilah lain yakni adaptasi kehidupan baru (AKB).
Pergantian istilah ini pun menuai banyak tanggapan, salah satunya dari ahli Epidemiologi Universitas Gajah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad.
Menurutnya pergantian istilah new normal akan menjadi tantangan ke depan bagi tenaga medis.
Riris mengatakan untuk definisi kasus memang pemerintah mengacu pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, di sisi lain, penggantian istilah tersebut juga dapat berupa doktrin demokratis bagi masyarakat saat ini.
Selama ini, lanjut dia, istilah atau definisi kasus seharusnya hanya diketahui oleh tenaga medis.
Baca Juga: Setelah New Normal Diganti, Istilah ODP, PDP dan OTG Covid-19 Dihapus
Masyarakat tidak perlu tahu secara mendetail terkait definisi yang menggunakan istilah-istilah medis.
"Nah, untuk kasus Covid-19 ini kan masyarakat diharuskan tahu dan paham tentang istilah dan definisinya. Kalau pun tidak mengetahui, nanti masyarakat tersebut cenderung disalahkan. Ini menjadi tantangan bagi tim medis," katan Riris dikutip dari Tribunjogja.com, Rabu (15/7/2020).
Ia menyampaikan, perubahan definisi kasus ini seharusnya hanya perlu diketahui oleh profesional ahli saja.
Baca Juga: Kepala Bappeda Jatim Meninggal Dunia, Khofifah Kehilangan ASN Terbaik Pemprov Jatim
Persoalannya, Keputusan Kementerian tersebut nantinya harus dikomunikasikan kepada masyarakat luas.
Riris berujar keputusan Kemenkes tersebut termasuk putusan yang demokratis, namun di sisi lain masyarakat umum juga terlalu dipaksakan agar sepaham dengan seorang profesional.
"Ini sulit dan menjadi tantangan besar bagi para tenaga medis dan profesional. Mengkomunikasikan perubahan definisi kasus terhadap masyarakat umum," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan secara umum perubahan definisi tersebut sesuai dengan pengendalian.
Namun, ia menganggap juga hal itu justru menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Daerah (Pemda) serta tenaga medis dan profesional.
Karena, menurutnya, penggantian istilah tersebut justru hadir pada saat masyarakat mulai optimis terhadap kenormalan baru atau new normal.
"Tantangannya disitu. Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, justru akan menambah paranoid masyarakat," tuturnya.
Menurut Doni, butuh intervensi seorang ahli perilaku atau psikolog untuk menghindari reaksi berlebihan oleh masyarakat.
Baca Juga: Studi: Kekebalan Tubuh Penyintas Covid-19 Ternyata Cuma 3 Bulan
Hal ini berkaitan dengan munculnya anggapan jika wabah ini terkesan dibesar-besarkan, serta paling ekstremnya seolah-olah ini sebagai teori konspirasi.
"Akan menambah kemunculan kelompok yang seperti itu. Makanya butuh intervensi dari ahli perilaku dan seharusnya itu dipertimbangkan," urainya.
Sementara itu, diketahui sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan jika Indonesia akan memasuki tatanan kehidupan baru atau dikenal dengan istilah new normal.
Baca Juga: Sempat Meleset, Akankah Prediksi Presiden Jokowi Prihal Puncak Covid-19 Agustus-September Tepat?
Masyarakat harus mulai hidup berdampingan dengan Covid-19 sebelum vaksin ditemukan.
"Berdampingan itu justru kita tak menyerah, tetapi menyesuaikan diri (dengan bahaya Covid-19). Kita lawan Covid-19 dengan ke depankan dan mewajibkan protokol kesehatan ketat," kata Jokowi sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Senin (25/5/2020).(*)
Baca Juga: Waswas, Angka Kematian Akibat Covid-19 di Indonesia Sudah Di Atas Amerika Serikat
#berantasstunting
#hadapicorona
Source | : | Kompas.com,TribunJogja |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar