GridHEALTH.id - Jargon yang mengatakan 'orang kaya mah bebas' tak hanya sebatas cara dan gaya hidup. Tapi juga dalam melawan takdir dan hukum alam.
Salah satu yang paling ekstrim adalah menghindari atau menolak kematian.
Baca Juga: Penularan Makin Meluas, Pemerintah Indonesia Tetap Belum Punya Laporan Hasil Tracing Secara Nasional
Ternyata hal ini bukan baru saat ini saja dilakukan, tapi sudah sejak zaman dahulu.
Asal tahu saja biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk menolak mati ini bisa mencapai 4 miliar.
Berhasilkah?
Melansir Intisari.id (21 September 2020), menurut pemberitaan 24h.com.vn, (20 September 20), saat ini ada manusia kaya raya, bahkan super kaya sedang berusaha melakukan upaya semaksimal untuk bisa menolak mati.
Baca Juga: Harga Vaksin Covid-19 Berbeda-beda, Kemenkes Buat Survei Patokan Harga Mulai dari Rp 50 Ribu
Bagi merea, biaya bukan masalah, yang penting dirinya bisa hidup lama, dan kalaupun saat ini mati, bisa dihidupkan kembali di masa yang akan datang.
Salah satu orang yang melakukan itu adalah Peter Thiel.
Dia adalah milyader pendiri PayPal dari AS.
Dirinya berinvestasi pada beberapa penelitian medis untuk memperpanjang usia mereka.
Thiel berinvestasi di perusahaan bernama Ambrosia.
Perusahaan tersebut salah satu dari tiga perusahaan yang melakukan eksperimen transfusi darah "vampir" untuk membuat orang-orangnya hidup awet muda.
Baca Juga: Nahasnya Masyarakat Indonesia, Warga Temukan Adanya Beras Plastik dalam Bansos dari Pemerintah
Eksperimen ini melakuan penyuntikan darah manusia muda ke para lansia yang berani membayar mahal.
Menurut pakar ABC Finance, transfusi darah ini bernilai hingga 6.000 poundsterling (Rp100 juta), hingga 215.000 pound (Rp4 miliar).
Asal tahu saja, menurut laporan, cara ini dilakukan pada tikus laboratorium berhasil.
Hanya saja pada manusia belum menunjukkan hasil positif pada manusia.
Baca Juga: Breaking News ! Menteri Agama Fachrul Razi Positif Virus Corona
Mengenai hal ini, karena ramai diperbincangkan, sampai-sampai membuat Badan pengawas obat dan makanan AS angkat bicara, memperingatkan masyarakat bahwa teknik ini tidak memiliki manfaat klinis yang terbukti, bahkan mungkin berbahaya.
Cara lainnya yang dilakukan selain transfusi darah, adalah cara yang sudah dilakukan sejak dahulu.
Yaitu membekukan tubuh.
Idenya adalah membekukan tubuh manusia yang hampir mati, supaya bisa dibangkitkan kembali dengan teknologi di masa depan.
Teknik ini dikenal dengan krionik, mereka akan dibekukan tepat pada saat sekarat.
Subyek hidup pertama dibekukan pada 1967.
Baca Juga: Di Indonesia Ada Daerah Sengaja Kurangi Tes Covid-19, Demi Predikat Zona Hijau
Manusia yang dibekukan pertama kali pada tahun itu, hingga kini belum ada yang berhasil dihidupkan kembali.
Untuk diketahui, tubuh mereka dibekukan dan otaknya juga dibekukan, supaya bisa dihidupkan kembali dengan teknologi yang ditemukan di masa depan.
Milyader Thiel dan rekannya Luke Nosek dan pembawa acara Larry King, semuanya telah mengajukan untuk dibekukan ketika mereka sekarat.
Baca Juga: IDI Dorong Tes PCR Sebanyak Mungkin, 'Ada Daerah Enggan Lakukan Tes Biar Terlihat Zona Hijau Terus'
Berdasarkan data dari Alcor Life Extension Foundation, pemasok elektronik terkemuka, biaya untuk mengawetkan tubuh nilainya sekitar 152.000 pound (Rp2,8 miliar), dan 61.000 (Rp1,1 miliar)pound untuk membekukan kepala.
Lainnya, saat fisik dibekukan, memori dan kepribadian para manusia yang ingin hidup abadi ini disimpan di dalam komputer.
Untuk satu ini, perusahaan lain yang menawarkannya.
Perangkat Neuralink milik Elon Musk, menjanjikan atau melacak semua data di otak manusia.
Dua perusahaan Nectome dan Yayasan Gerakan Terasem, bekerja sama untuk mendapatkan teknologi ini.
Idenya adalah dengan teknik ini mereka bisa menukar tubuh manusia ke komputer atau robot ketika mereka mati, dengan menggunakan kepribadian yang sudah disimpan.
Tapi hal ini hingga saat ini masih menjadi fiksi ilmiah semata.(*)
Baca Juga: Kasus Positif Covid-19 Makin Banyak, Pakar Epidemiologi UI; 'Pemerintah Tidak Punya Plan'
#berantasstunting
#HadapiCorona
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar