GridHEALTH.id - Sudah menjadi rahasia umu jika kita kelebihan mengonsumsi gula garam dan lemak (GGL) yang berlebih berisiko terhadap gangguan metabolik, obesitas salah satunya.
Diketahui berat badan berlebih alias obesitas kini menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia.
Baca Juga: 6 Makanan Penyebab Kista Ovarium yang Mesti Dihindari Para Wanita
Dikutip dari situs worldometers.info, tercatat ada 750.357.175 orang dengan kondisi obesitas di dunia.
Setiap tahun, setidaknya 2,6 juta orang dewasa meninggal dunia akibat kegemukan atau obesitas, membuatnya menjadi faktor penyebab kematian tertinggi kelima di dunia.
Bahkan ada prediksi yang menyebut pada tahun 2030 mendatang, lebih dari 38 % populasi orang dewasa di dunia akan mengalami kelebihan berat badan. Kemudian, 20 % akan mengalami obesitas.
Kondisi ini tentu harus diwaspadai sebab obesitas dan kelebihan berat badan kini dianggap sebagai epidemi yang terkait dengan perkembangan patologi. Antara lain, diabetes, penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, dan nyeri muskuloskeletal.
Selain itu, sebuah penelitian juga mengungkapkan bahwa ada hubungan yang kuat antara obesitas dan nyeri.
Baca Juga: Fakta Vaksin Covid-19 yang Dinilai Berbahaya Karena Sebabkan Nyeri, Ini Penjelasan Ahli
Obesitas dan nyeri muskuloskeletal berkaitan dengan peningkatan stres mekanis yang disebabkan oleh beban ekstra pada sendi saat menahan bobot tubuh.
Namun demikian, penelitian yang baru saja diterbitkan dalam jurnal Nutrients juga memperlihatkan hubungan antara nyeri dan obesitas, yang kemungkinan melibatkan fenomena sistemik dari organisme.
Hal ini diketahui setelah tim peneliti dari Universitat Rovira i Virgili di Spanyol mengamati orang-orang yang mengonsumsi makanan tinggi lemak dan gula olahan. Sebutlah roti gulung manis dan kue kering.
Baca Juga: Air Rebusan Ciplukan Ternyata Ampuh Cegah Komplikasi Diabetes, Ini Cara Buatnya
Para peneliti melakukan pengamatan selama enam minggu.
Terbukti, makanan tersebut meningkatkan jumlah molekul yang menyebabkan peradangan atau inflamasi dalam organisme.
Selain itu makanan tersebut juga memicu rangsangan saraf otot. Ini dikenal sebagai neurotransmisi muskuloskeletal.
Baca Juga: Coba-coba Menggunakan Produk Skin Care peel off mask, Walhasil Alis Pria Ini Rontok
Kemudian, para peneliti melakukan percobaan pada tikus jantan. Satu kelompok tikus diberikan makanan tinggi gula tambahan dan kelompok lainnya diberikan makanan tinggi lemak selama enam minggu.
Para peneliti lalu menghitung sel-sel lemak (adiposit) dan menggunakan elektromiografi untuk menilai neurotransmisi muskuloskeletal, respons dari saraf otot.
Tikus yang telah mengonsumsi makanan tinggi gula menunjukkan lebih banyak adiposit di jaringan otot, tetapi hal yang sama tidak berlaku untuk makanan tinggi lemak.
Baca Juga: Ada Pilkada dan Libur Panjang, Pakar Epidemiologi; 'Covid-19 Bisa Meledak di Desember'
Meski begitu, kedua kelompok menunjukkan peningkatan transmisi neuromuskuler yang berlangsung selama beberapa minggu setelah percobaan dihentikan.
Studi tersebut akhirnya menyimpulkan, mengonsumsi makanan tinggi kalori, baik dari lemak maupun gula selama enam minggu meningkatkan neurotransmisi yang mengarah pada perkembangan nyeri otot.
Setelah periode ini, tikus dengan cepat mendapatkan kembali berat badan normalnya meskipun parameter neurotransmisi tetap tinggi selama beberapa minggu.(*)
View this post on Instagram
#berantasstunting
#hadapicorona
#BijakGGL
Source | : | Kompas.com,Worldometers.info |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar