GridHEALTH.id – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta China untuk tidak melanjutkan strategi ‘Zero Covid-19’.
Kasus Covid-19 di China memang sedang melonjak. Pembatasan di Shanghai, membuat 25 juta orang penduduk harus terus berada di rumah.
Lockdown yang diperketat juga menimbulkan kemarahan dan aksi protes besar-besaran dari warga setempat.
“Ketika kami berbicara tentang strategi nol-Covid, kami tidak berpikir itu berkelanjutan, mengingat perilaku virus sekarang dan apa yang kami antisipasi di masa depan,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konfrensi pers, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (11/05/2022).
“Kami telah membahas masalah ini dengan para ahli dari China dan kami mengindikasikan bahwa pendekatannya tidak akan berkelanjutan. Saya pikir perubahan akan sangat penting,” sambungnya.
Shanghai menjadi kota dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak. Namun, puluhan kota lain pun juga mengalami penguncian, seperti Beijing yang melaporkan adanya 37 kasus Covid-19.
Di tengah klaim WHO yang menganggap bahwa strategi zero Covid-19 yang diberlakukan pemerintah China kurang tepat, sebuah hasil studi menunjukkan hasil yang berbeda.
Jika kebijakan zero Covid yang dihentikan, dikhawatirkan akan terjadi kenaikan kasus infeksi yang sangat banyak dan menyebabkan kematian pada hampir 1,6 juta orang. Mengingat angka vaksinasi pada lansia yang rendah.
Studi peer-review oleh Shanghai’s Fudan University yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, mengatakan keputusan otoritas China untuk mencabut kebijakan tersebut bisa menyebabkan lebih dari 112 juta kasus gejala Covid-19.
Baca Juga: Wiku: Covid-19 Membaik, Indonesia Sudah Mulai Transisi ke Endemi
Selain itu, ada juga risiko lima juta rawat inap dan 1,55 juta kematian yang mungkin terjadi.
“Kami menemukan bahwa tingkat kekebalan yang disebabkan oleh vaksinasi Maret 2022 tidak akan cukup untuk mencegah gelombang Omicron yang akan mengakibatkan adanya kebutuhan perawatan kritis untuk unit perawatan intensif sebesar 15,6 kali kapasitas yang ada,” bunyi hasil studi tersebut, dikutip dari The Guardian, Rabu (11/05/2022).
Namun, studi tersebut juga mengatakan bahwa akses vaksinasi dan antivirus yang memadai, bisa menjaga implementasi intervensi non-farmasi.
Sehingga bisa mencegah terjadinya kewalahan pada sistem kesehatan. Ini tentunya dapat menjadi fokus dalam penentuan kebijakan masa depan.
Otoritas China tak bisa menghentikan kebijakan ini dalam waktu dekat, karena cakupan vaksinasi tidak mencukupi dan sumber daya kesehatan yang tidak merata di seluruh negeri.
Pakar kesehatan menyetujui hal itu, tapi analisis China khawatir pihak pemerintah mundur diam-diam tanpa mau mengakui bahwa kebijakan yang dijalankan gagal.
Setelah sempat meningkat pada pertengahan April lalu, kasus Covid-19 di China perlahan-lahan mulai mengalami penurunan.
Hanya saja, virus tersebut terus menyebar ke berbagai provinsi. Kasus Covid-19 terbaru sebanyak 1.905 pasien, dengan 302 orang memiliki gejala.
Sebagian besar kasus masih ditemukan di Shanghai, yang telah menerapkan kebijakan lockdown lebih dari dua bulan lamanya.
Baca Juga: Penyebab Sri Mulyani Terinfeksi Covid-19, Gegaranya 3 Hal Utama Ini
Source | : | Al Jazeera,The Guardian |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar