GridHEALTH.id - Merencakan kehamilan adalah hal yang penting bagi setiap pasangan suami istri, karena menyangkut dengan kondisi kesehatan anak.
Namun pada kenyataannya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat adanya peningkatan prevalensi kehamilan tidak direncanakan di Indonesia.
Padahal kehamilan tidak direncanakan ini, dapat meningkatkan risiko stunting pada anak yang dilahirkan.
Berdasarkan laporan dari United Nations for Population Activities (UNFPA), setiap tahunnya setidaknya ada 121 juta kehamilan tidak direncanakan di dunia.
Jumlah tersebut sangat tinggi, hampir 60% dari total kehamilan yang terjadi di seluruh negara-negara dunia.
"Maka dari itu, perlu dilakukan upaya mitigasi diri untuk mencegah anak-anak kita dari dampak jangka panjang dan luas dari stunting termasuk peran dalam keluarga," kata Deputi BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto, dikutip dari laman BKKBN, Kamis (04/08/2022).
Lebih lanjut, ia mengatakan kalau kehamilan tidak direncanakan yang terjadi di Indonesia mulai dari 2015 sampai 2019 mencapai 40%.
"Walaupun lebih sedikit tapi 40 persen juga angka yang besar. Indonesia sendiri berdasarkan data WHO terdapat 200 juta kehamilan pertahun, di mana sebanyak 75 juta kehamilan atau 30 persen di antaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan," jelasnya.
Anak yang dilahirkan dari kehamilan tidak direncanakan berisiko stunting dan ini dapat berdampak pada kehidupan anak jangka panjang.
Baca Juga: Capai Target Cegah Stunting, Kemenko PMK Terapkan RAN PASTI, Seperti Apa?
Menurut WHO, stunting adalah kondisi seorang anak gagal mencapai potensi pertumbuhannya akibat dari penyakit, kesehatan yang buruk, dan kekurangan gizi.
Melansir laman Our World in Data, anak yang mengalami stunting umumnya memiliki tinggi badan yang rendah dibandingkan seusianya atau disebut kerdil.
Tinggi badan anak, menjadi salah satu tanda yang menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan mereka terhambat.
Orangtua perlu paham, kalau stunting tidak hanya menyebabkan anak bertubuh pendek saja. Kondisi ini juga memengaruhi kemampuan kognitif buah hati.
Dari laman PBS.org, stunting yang terjadi selama dua tahun pertama kehidupan anak berdampak negatif pada kapasitas belajar anak.
Anak stunting cenderung lebih apatis dan kurang rasa ingin tahu, dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Hal ini karena energi mereka terbatas untuk fungsi organ penting, pertumbuhan, serta interaksi sosial dan pembelajaran.
Jika dibiarkan dan kebutuhan gizi anak tetap tidak terpenuhi, maka semakin besar risiko gangguan mental dan fisik terjadi.
Karena kemampuan belajarnya yang berbeda dari teman-teman seusianya, anak stunting juga cenderung memiliki prestasi yang rendah di sekolah karena sulit mengikuti pembelajaran.
Tingkat pendidikan yang lebih rendah, berkaitan dengan produktivitas dan pendapatan seumur hidupnya saat sudah dewasa nanti. (*)
Baca Juga: Bayi Prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Tingkatkan Risiko Stunting
Source | : | pbs.org,BKKBN,Our World in Data |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar