GridHEALTH.id - Sekarang kita semua hidup di zaman kemerdekaan.
Saat ini semua akses makanan bergizi mudah didapatkan. Begitu juga dengan pengetahuan prihal makanan bergizi.
Tapi pernahkah membayangkan bagaiaman makanan bangsa Indonesia zaman penjajahan di era 1930-an?
Katahuilah, saat 1930-an dimana Indoensia masih dijajah negara asing, terjadi krisis.
Makanan pokok, beras, langka. Apalagi makanan bergizi lainnya, terlebih yang mengandung tinggi protein, semisal daging.
Krisis pangan tersebut terjadi karena peperangan dan juga gagal panen.
Tapi saat itu bangsa Indonesia kreatif, mereka berlahih pangan alternatif. Mereka makan ubi dan singkong.
hal itu pun didukung oleh ahli gizi saat itu yang mendukung masyarakat agar tetap menjaga asupan makanannya dengan bahan makanan alternatif tersebut.
Bahkan, pada waktu itu, dilansir dari historia.id (16/10/2020), R.A.S. Soerjasoebrata mengarang buku resep Daharan Katela (1935) yang memuat 71 resep makanan berbahan baku ketela atau singkong.
Dalam pengantarnya Soerjasoebrata menulis: “Saat zaman sejahtera, sebelum zaman malaise, berbagai makanan yang mahal dapat tersaji di atas meja makan. Namun, hal itu tidak dapat ditemukan pada zaman malaise ini. Mengingat hal tersebut, saya menyempatkan diri mengumpulkan berbagai macam makanan dengan bahan baku ketela. Ketela ini tanaman bangsa saya, yang tumbuh di mana saja, harganya tidak mahal, serta dapat dibuat berbagai macam makanan yang enak dan bergizi. Selain itu, pantas pula untuk dihidangkan di hadapan tamu, atau pun sekadar di makan sendiri.”
Ternyata makanan tersebut disarankan juga oleh para ahli dan pemerintah Eropa kepada masyatakatnya yang ada di Indonesia.
Baca Juga: 4 Penyebab Sakit Perut Setelah Bercinta dan Cara Cepat Mengatasinya
Untuk itu GA van de Mol, konsultan pertanian untuk urusan pendidikan, menyusun buku Gezonde Voeding (Makanan Sehat) sebagai buku ajar pendidikan rumah tangga di Hindia Belanda pada 1937.
Van de Mol menyarankan agar orang-orang Eropa menerima makanan “pribumi” yang didominasi sayuran dan buah-buahan daripada daging.
“Di sini, kedelai dan olahannya (susu, kecap, oncom, dan tempe) menjadi bahan pilihan pokok primadona untuk diasup pada masa sulit,” tulis Fadly.
Tokoh pergerakan perempuan bumiputra, Ch. Sj. Dt. Toemenggoeng atau Chailan Sjamsu, juga menulis Boekoe Masak-Masakan pada 1940.
Lewat buku ini dia mendorong pembaca untuk memanfaatkan bahan-bahan makanan lokal seperti ketela, kedelai, jagung, dan sagu.
Lembaga Makanan Rakyat (Instituut voor Volksvoeding) yang berdiri pada 1937 juga memprakarsai penerbitan buku Makanan jang Baik Dimasa Perang (1940), Makanan jang Moerah tetapi Baik (1941), dan Masak-Masakan Moerah (1941).
“Maksud penerbitan buku pedoman itu untuk membentuk rumah tangga sebagai garda terdepan dalam menanamkan pengetahuan mengolah makanan yang murah atau sederhana tapi baik pada masa-masa sulit,” tulis Fadly.
Saat Jepang menjajah, kekurangan pangan kian akut, hidup menjadi lebih sulit lagi.
Pada masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi hasil panen. Mereka menderita kemiskinan kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.
Untuk menutupi kekurangan beras, masyarakat memakan jagung, singkong atau tiwul, kedelai, bahkan bonggol pisang.
Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio, Jepang, sebagai sumber protein, bekicot jadi pilihan.
Baca Juga: Perkembangan Motorik dan Kognitif Anak Dapat Dimaksimalkan Melalui Periode Winning Window
Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Pemerintah pendudukan Jepang sendiri mendorong masyarakat mengkonsumsi sumber pangan alternatif selain beras.
Mereka juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Salah satu menu populer ialah apa yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya.
Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu baru ini.
“Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.(*)
Baca Juga: Anak Demam Setelah Imunisasi, Kapan Harus Periksa ke Dokter?
Source | : | Historia.id |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar