Pelabelan itu didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.
Trubus mengkritik, prihal keberadaan etilen glikol dalam air galon kemasan polyethylene terephthalate (PET) atau galon sekali pakai berbahan PET, BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut.
Fakta BPA VS PET
International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia.
Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai, justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia.
“Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, baru-baru ini.
Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup.
Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.
“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.
Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya.
Dia juga mencontohkan kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif.
“Di PET ada kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.
Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof. apt Muchtaridi, menjelaskan etilen glikol mengalami oksidasi oleh enzim. Menurutnya, ketika masuk ke dalam tubuh, senyawa ini mengalami oksidasi oleh enzim menjadi glikol aldehid, kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat membentuk lagi asam oksalat. “
Asam oksalat inilah yang membentuk batu ginjal,” ungkapnya seperti dikutip dari laman unpad.ac.id.
Dia menjelaskan asam oksalat jika sudah mengkristal akan berbentuk seperti jarum tajam.
“Asam oksalat kelarutannya kecil, kalau ketemu kalsium akan terbentuk garam yang sukar larut dalam air dan larinya akan ke organ seperti empedu dan ginjal. Jika lari ke ginjal, kristalnya tajam dan akan mencederai ginjal,” tuturnya.
Baca Juga: Healthy Move, Melawan Mitos, Ternyata Olahraga Lompat Tali Aman Dilakukan Wanita Usia Menopause
Jika kondisi ini terjadi pada anak-anak yang memiliki ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan menjadi parah.
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar