GridHEALTH.id - Stunting menjadi hal yang membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk menyelesaikannya.
Dikenal sebagai kondisi gagal tumbuh, stunting tak hanya sekadar menyebabkan tubuh anak lebih pendek, tapi juga memengaruhi kemampuan kognitifnya.
Angka stunting di Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu wilayah di Jawa Tengah dengan prevalensi stunting terbilang tinggi.
Dyah Retno Afif Nurhidayat selaku Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBPPPA Wonosobo) mengatakan, di wilayahnya masih belum terbebas dari anak stunting dan ada di urutan 31 se-Jawa Tengah.
Dijelaskan lebih lanjut, angka kejadian stunting di wilayah ini diperoleh dari berbagai sumber, misalnya Survey Status Gizi Indonesia (SSGI).
"Pada 2020, Kabupaten Wonosobo ada di angka 38,57%. Di tahun 2021 di angka 28,01%. Alhamdulillah sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan, di atas 10%," kata Dyah dalam Media Gathering Bersama Mencegah Stunting yang diselenggarakan Danone, Selasa (8/11/2022)m di Wonosobo, Jawa Tengah.
Selain itu, dilakukan juga penimbangan berat badan serentak pada anak-anak balita untuk mengetahui indikasi stunting.
Hasilnya pada 2020 ada sekitar 26,69% indikasi anak stunting dan 2021 turun menjadi 20,83%.
"Di tahun 2022, hasil penimbangan serentak kami pada Agustus, alhamdulillah sudah turun di angka 14,7 persen," ujarnya.
Persentase kondisini paling banyak berada di Desa Kaligaja 2 dan yang terendah di Desa Kaligaja 1.
Baca Juga: Indonesia Turunkan Angka Stunting Hingga 3 Persen di 2022, Mampukah? Ini Upaya yang Ditempuh
Walaupun terlihat adanya penurunan angka stunting, tapi masih ada 127 dari 265 desa dengan prevalensi di atas 14 persen.
Apa penyebab stunting masih tinggi?
Dyah yang juga merupakan istri Bupati Wonosobo, mengatakan kondisi ini disebabkan oleh banyak hal.
Tak hanya pengaruh gizi, tapi juga berkaitan dengan pola hidup sehari-hari yang dijalani oleh masyarakat.
Pertama, dari hasil riset yang dilakukan bersama sejumlah pihak, pola asuh menjadi pemicunya.
Kedua, pernikahan dini, di mana pengantin masih berusia di bawah 19 tahun.
"Pada 2021 jumlah perkawinan amak masih di angka 476 dan sampai update terakhir dari Pengadilan Agama, perkawinan anak bulan ini sudah 320," jelasnya.
Ketiga, masih banyak remaja putri yang tidak paham mengenai reproduksi yang sehat dan pola makan yang masih belum baik.
"Beberapa waktu lalu, kami melaksanakan cek HB kepada remaja-remaja di salah satu sekolah. Ternyata dari remaja putri yang kita cek HB-nya, itu 60 persen anemia," tutur Dyah.
Anemia adalah kondisi kurangnya sel darah merah pada tubuh, yang mengakibatkan tubuh lemas dan bila dibiarkan terutama pada wanita, berkaitan dengan stunting.
Keempat, kurangnya alat ukur dan sumber daya manusia. Alat dibutuhkan untuk skrining stunting dan jumlahnya masih terbatas.
Dikhawatirkan penyebab anak stunting masih tinggi di Kabupaten Wonosobo, karena kurang akuratnya alat yang ada dan SDM-nya pun masih membutuhkan edukasi lebih untuk memaksimalkan upaya tumbuh kembang anak. (*)
Baca Juga: Si IMUT yang Bisa Berantas Stunting di Indonesia, Mulai Dijalankan di Sumatera Utara
Source | : | liputan lapangan |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar