GridHEALTH.id - Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih jauh tertinggal terkait pengadaan obat inovatif.
Dalam dunia kesehatan, Indonesia memang sudah mengalami kemajuan yang signifkan dan hampir 90% masyarakat telah mendapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Namun, jumlah jangkauan JKN masih belum cukup untuk bisa mencapai sistem kesehatan yang berkualitas tinggi.
Termasuk untuk obat inovatif, yang dapat meningkatkan layanan kesehatan, menyelamatkan nyawa pasien, hingga bisa menekan biaya perawatan.
Masih sedikitnya obat modern di Indonesia, juga menjadi salah satu pemicu banyaknya masyarakat yang memutuskan menjalani pengobatan di luar negeri.
Sebagai informasi, yang dimaksud dengan obat inovatif adalah obat dengan menggunakan molekul baru yang berasal dari dari pengembangan klinis suatu perusahaan farmasi.
Proses clinical development yang dijalankan oleh perusahaan untuk mendapatkan molekul baru tersebut, bisa berlangsung 15-20 tahun.
Nora T. Siagian selaku International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Board Manager mengatakan, zat aktif yang digunakan dalam obat inovatif belum ada generiknya.
Sayangnya, berdasarkan data IPGM selama 10 tahun terakhir hanya ada sekitar 9% obat baru, modern inovatif, yang tersedia di Indonesia.
“Selama 10 tahun terakhir 2012-2021, (ada) 460 obat baru tersedia secara global di seluruh dunia. Sekitar 1 dari 10 obat baru yang diluncurkan tersedia di Indonesia, artinya hanya ada sekitar 9% obat baru,” ujar Ketua IPMG Ait-Allah Mejri dalam diskusi media di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (19/12/2022), yang diikuti GridHEALTH.id.
Jika dibandingkan dengan negara-negara yang bergabung dalam G20, Indonesia berada di urutan terakhir perihal ketersediaan obat inovatif.
Baca Juga: Hari Kesehatan Nasional, Mengenal Obat Penawar Gagal Ginjal Akut
Begitu juga dengan wilayah Asia Tenggara, terdapat perbedaan yang signifikan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Butuh waktu sekitar 3-4 tahun, agar produk obat ini tersedia di Tanah Air, setelah dirilis secara global.
Ait-Allah Mejri menjelaskan, keterlambatan distribusi obat terjadi terhadap berbagai penyakit, tidak hanya satu atau dua saja.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa akar dari permasalahan ini bersifat multifaktorial. Salah satunya merupakan peraturan pemerintah.
Di mana, perusahaan farmasi asing harus mempunyai pabrik di sini terlebih dahulu untuk bisa teregister sebagai industri farmasi.
Kemudian, pemerintah juga meminta perusahaan farmasi untuk mempunyai nilai komponen lokal agar bisa terdaftar dalam JKN.
"Saat ini, untuk multinational company itu sangat menjadi tantangan, karena kebanyakan dari produk itu import," jelasnya.
Terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam produk obat modern, masih dirasa sulit untuk dilakukan.
Selain itu, health techonolgy assessment juga belum diimplementasikan. Sehingga saat melakukan penilaian produk apakah bisa masuk ke dalam JKN atau tidak, hanya terpaku pada kategori murah atau mahal.
Prosedur yang kompleks inilah yang menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara tetangga.
"Perbaikan dalam berbagai aspek diperlukan agar obat-obatan inovatif tersedia bagi pasien yang membutuhkan sehingga bisa membawa pasar Indonesia lebih menarik bagi investor," pungkas Nora. (*)
Baca Juga: Jepang Beri Donasi 200 Obat Untuk Atasi Gagal Ginjal Akut Pada Anak
Source | : | Diskusi media |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar