Efek ringan cupang yang juga harus diketahui adalah, batuk, bersin, dan efek roller coaster yang sebenarnya mengarah ke stroke.
Jadi seseorang yang mendapat kecupan di leher secara agresig, menurut Dr. Elkind, dapat menyebabkan stroke benar adanya.
Sebab kecupan agresif di leher bisa menimbulkan tanda merah, itu artinya ada kerusakan pembuluh darah di bawah kulit.
Baca Juga: Nyeri Sendi dan Demam Disaat Bersamaan, Bagaimana Cara Mengobatinya?
"Arteri karotid merupakan salah satu arteri yang menuju ke otak melalui leher. Jadi, jika menekan atau merusak leher di area tempat arteri karotis berada, itu berpotensi menyebabkan cedera yang bisa merobek pembuluh darah, menyebabkan gumpalan darah ke otak dan menyebabkan stroke," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh seorang dokter Unit Gawat Darurat di Lenox Hill Hospital di New York City, Robert Glatter.
Menurutnya cupang memang bisa membunuh seseorang. Seseorang mungkin lebih rentan terhadap cedera dari cupang jika mereka memiliki gangguan jaringan ikat yang ada.
Masihg menurut Glatter, kecupan di leher yang kuat dapat menyebabkan robekan atau cedera pada dinding pembuluh darah, yang mengarah pada pembentukan bekuan darah.
Akibatnya, pembekuan darah dapat berjalan ke arteri yang lebih kecil di otak yang menyebabkan stroke.
Baca Juga: Sering Pingsan Akibat Darah Rendah? Coba Atasi dengan Cara Alami Ini Agat Gak Terulang
“Setiap gerakan leher yang tiba-tiba termasuk batuk atau bersin yang kuat, atau bahkan manipulasi agresif oleh chiropractor dapat menyebabkan diseksi arteri karotis,” jelas Glatter mengingatkan.
Jadi permasalahan utama kecupan di leher yang meninggal bekas merah alias cupang, bukan perkara bagaimana menghilangkannya karena membuat malu.
Tapi lebih dari itu, yaitu risikonya yang bisa membuat seorang penerima kecupan di leher mengalami stroke bahkan kematian.
Jangan spelekan masalah terkait cupang dan kecupan di leher.(*)
Baca Juga: Anak Alergi Susu Sapi? Ini Solusi Agar Kebutuhan Nutrisi Anak Tetap Terpenuhi
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar