GridHEALTH.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menurunkan penyebaran kasus demam berdarah dengue (DBD) dengan menyebarkan nyamuk wolbachia.
Cara ini diketahui juga sudah dilakukan di berbagai negara seperti Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka.
Di Indonesia terdapat lima kota pertama yang menjadi lokasi pelepasan nyamuk wolbachia, yakni Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang, dan Kota Bontang.
Untuk itu, penting mengetahui lebih lanjut apa itu nyamuk wolbachia dan efektivitasnya menurunkan kasus DBD.
Wolbachia sebenarnya merupakan sebuah bakteri, yang secara alami bisa ditemukan dalam tubuh serangga.
Kurang lebih ada sekitar 60 persen jenis serangga yang memiliki bakteri ini dalam tubuhnya, seperti lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu.
Selanjutnya, bakteri tersebut disuntikkan ke sel telur nyamuk dan diwariskan dari perkawinan melalui sel telur serannga.
"Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat lebih dari 50 persen serangga yang ada di sekitar kita," kata Prof. Adi Utarini peniliti nyamuk ber-wolbachia dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam virtual media briefing yang diadakan PB IDI, Senin (20/11/2023).
Ketika nyamuk ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa bakteri ini, maka telurnya tidak akan menetas.
Sedangkan, jika yang memiliki wolbachia adalah nyamuk betina, lalu kawin dengan nyamuk jantan tanpa bakteri tersebut, maka akan menetas telur nyamuk wolbachia.
Lebih lanjut, profesor Utarini mengatakan ketika dimasukkan ke dalam sel telur nyamuk aedes aegypti, nyamuk penyebab DBD, bakteri ini memblok virus dengue.
Baca Juga: Nyamuk Wolbachia Disebut Rekayasa Genetik Hingga Penyebar Virus, Ini Kata Pakar UGM
"Ketika nyamuk aedes aegypti ini mengigit manusia, maka virusnya tidak ikut berpindah ke manusia," tambahnya.
Begitu pula dengan bakteri wolbachia-nya, yang tidak dapat berpindah ke manusia meskipun sudah tergigit.
"Sudah membuktikan wolbachia pada aedes aegypti tidak dapat berpindah ke serangga lain, begitu pula tidak bisa berpindah ke mansuia. Jadi tetap berada di sel nyamuk aedes aegypti," jelas profesor Utarini.
Pakar lain yang terlibat dalam penelitian nyamuk ber-wolbachia dr. Riris Andono Ahmad mengatakan, kemamanan dan efikasi nyamuk ini telah dipelajari melalui tiga fase yang dilakukan sejak 2011 di Yogyakarta.
Fase pertama di lab, fase kedua di empat kabupaten di Sleman dan Bantul, serta fase ketiga di lapangan.
"Di mana kami menyebarkan nyamuk ini di separuh kota Yogyakarta dan kemudian melihat dampaknya terhadap penyebaran dengue di wilayah tersebut," ujarnya.
Penelitian fase tiga ini berjalan cukup lama, mulai dari Januari 2017 hingga Maret 2020.
Dilakukan di sebagian besar kota Yogyakarta dan satu kecamatan yang berada di Bantul, dengan melepaskan nyamuk wolbachia 9-14 kali untuk mencapai 80%.
Nyamuk wolbachia dimasukkan ke dalam ember dan ditempatkan di permukiman warga, perkantoran, dan lainnya.
"Dari 2 tahun 3 bulan tersebut, kamu menemukan ada 318 kasus di wilayah kontrol yang tidak mendapatkan (nyamuk) wolbachia dan hanya 67 kasus di wilayah yang ada intervensi wolbachia-nya," jelasnya.
Sekitar 318 kasus DBD tersebut bersal dari 3.000 pasien yang pergi ke puskesmas dengan gejala dengue dan 67 kasus dari 2.800 pasien puskesmas dengan gejala DBD. Hasilnya didapati bahwa pelepasan nyamuk wolbachia dapat menekan kasus DBD hingga 77 persen dan menurunkan angka perawatan rumah sakit sampai 86 persen. (*)
Baca Juga: Gigitan Nyamuk DBD Mengganas 5 Kali Lipat Saat Suhu Panas, Lindungi Diri dengan 2 Langkah Ini
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Komentar