Hal senada juga diungkap oleh peneliti King's College London.
Dalam studinya di bulan Agustus, King's College London mencatat setidaknya ada 33 persen remaja yang menderita gangguan Problematic Smartphone Use (PSU), ditandai dengan munculnya kecemasan hingga depresi akut.
Alasan tersebut yang membuat WHO khawatir hingga mendesak para pemimpin negara termasuk Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk mengambil tindakan dan indikator spesifik guna mengurangi kecanduan dan waktu penjajalan ponsel yang berlebihan di era digital.
Diantaranya dengan cara memperketat regulasi, termasuk pembatasan usia dan pembentukan “zona terlarang” untuk penggunaan perangkat digital agar bisa menurunkan angka ketergantungan gadget pada generasi muda.
"Mungkin kita perlu memikirkan waktu yang tepat untuk menggunakan perangkat digital. Mungkin kita juga perlu memikirkan tempat-tempat tertentu di mana perangkat digital tak boleh digunakan," ungkap Natasha, dalam sebuah wawancara, yang dikutip Yahoo Finance.
Merespon desakan yang disuarakan WHO, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan pihaknya akan mengambil tindakan dan indikator spesifik untuk mengurangi kecanduan dan waktu penjajalan ponsel yang berlebihan di era digital.
Sementara, beberapa negara maju lainnya mengungkap bahwa mereka telah mengambil langkah untuk mengurangi penjajalan smartphone (screen time) pada anak kecil.
Misalnya saja di Belanda, Hungaria, Prancis, Mesir, dan Inggris, yang telah melarang smartphone di dalam kelas.
Melansir dari berbagai sumber, berikut beberapa cara yang bisa dilakukan dalam membatasi penggunaan gadget pada anak.
Menetapkan jadwal khusus untuk penggunaan gadget adalah langkah penting.
Misalnya, batasi penggunaan gadget hanya selama satu hingga dua jam per hari, terutama di luar jam belajar atau kegiatan keluarga.
Pastikan anak tahu kapan waktunya berhenti menggunakan gadget, sehingga mereka belajar mengatur waktu dengan baik.
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Komentar