Menilik dari negara yang memiliki angka kelahiran dibawah 2,1, dr. Irma menyebut perlu usaha yang luar biasa untuk meningkatkan angka kelahiran.
Jika tidak, maka dikhawatirkan keberlangsungan suatu negara bisa terancam.
Pihaknya menilai, ada paham individualistik yang melatarbelakangi fenomena ini seperti keinginan perempuan memiliki pendidikan tinggi maupun karier yang gemilang.
"Sekarang kita harus berikan pemahaman atau edukasi juga apakah ini adalah pilihan yang responsibel. Pilihan yang pro terhadap pembangunan keberlanjutan, pilihan yang sebenarnya kita memikirkan juga tanggung jawab sosial. Bahwa ini childfree ada kompensasinya, kita punya tanggung jawab sosial dalam bernegara," jelasnya.
dr. Irma menegaskan, ada 8 fungsi keluarga, diantaranya keluarga adalah fungsi reproduksi yang berarti berkelanjutan.
"Kami kampanyekan mereka itu untuk penyiapan kehidupan berkeluarga. Jadi, sudah ada semacam cita-cita pada tahapan tertentu mereka di usia tertentu bahwa harus menyiapkan kehidupan berkeluarga karena disitu betul-betul bisa menanamkan berbagai karakter sosial," jelas dr. Irma.
Sebelumnya, BPS merilis laporan terkait fenomena childfree. BPS melakukan kajian kepada kelompok perempuan usia 15 – 49 tahun. Hasilnya 71 ribu perempuan dalam rentang usia tersebut memilih untuk tidak memiliki anak.
"Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi," demikian laporan BPS. (*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul “71 Ribu Perempuan Indonesia Memilih Childfree, BKKBN: Bisa Membuat Depopulasi”.
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Komentar