Find Us On Social Media :

Akar Bajakah Dianggap Obat, Begitu juga Kratom dari Kalimantan, Digolongkan Sebagai Narkoba

Kratom daun yang dielukan sebagai obat ajaib dari Kalimantan

GridHEALTH.id – Belum lama masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita mengenai akar bajakah yang konon kabarnya ampuh mengobati kanker.

Sampai-sampai banyak masyarakat asli Kalimantan yang menjadi pengepul akar bajakah yang tumbuh liar di hutan Kalimantan.

Belum lama, kembali tumbuhan yang telah lama menjadi obat tradisional di Indonesia membuat ramai masyarakat.

Baca Juga: Alami Microsleep Beberapa detik, dokter TNI AD Letkol Iqbal Lahmadi dan Istrinya Tewas Bersamaan

Pasalnya kratom alias (Mitragyna speciosa) yang sudah lama digunakan sebagai tanaman obat di Kalimantan, yang akan dilarang oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) karena digolongkan dalam narkoba.

Legalitas kratom saat ini dipertanyakan banyak negara, dan Indonesia lewat Badan Narkotika Nasional sedang memroses kratom menjadi obat-obatan terlarang Golongan I.

Kratom oleh laman duniabebasnarkoba.org disebut sebagai narkoba, memiliki banyak nama, diantara; herbal speedball, biak-biak, ketum, kahuam, ithang atau thom.

Semuanya itu mudah ditemukan di toko-toko kesehatan, toko-toko tembakau, dan secara online sebagai bubuk hijau, dalam kapsul atau sebagai ekstrak atau permen karet.

Baca Juga: Berita Kesehatan Popular: Patahkan Teori Menikah Di Usia Muda, Hingga Apakah Makanan Pedas Dilarang Bagi Penderita Penyakit Jantung?

Dalam laman itupun disebutkan jika kratom mempunyai efek samping, yaitu; mual, gatal, berkeringat, mulut kering, sembelit, kencing meningkat dan kehilangan nafsu makan.

Dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penurunan berat badan, anoreksia, insomnia dan kulit yang menjadi gelap.

Baca Juga: Bukan Hanya Paru, Asap Rokok Juga Ternyata Merusak Kesehatan Mata

Malah kabarnya, beberapa telah melaporkan mengalami "psikosis kratom" – yaitu halusinasi, delusi dan kebingungan berat.

Selain itu, kratom adiktif. Dalam sebuah penelitian, 50 persen pengguna jangka panjang (enam bulan atau lebih) mengalami gejala menarik-diri yang parah, seperti permusuhan, agresi, perubahan emosional, otot dan tulang yang ngilu, dan gerakan anggota badan yang tersentak; 80 persen yang mencoba untuk berhenti tidak berhasil melakukannya.

Melansir Kompas.com (02/09/2019, 11:32 WIB), dalam jurnal berjudul Manfaat Biokimia, Diagnosis, dan Evaluasi Risiko Klinis Kratom yang terbit di National Center of Biotechnology Information (NCBI), edisi April 2017, ahli dari AS menemukan, efek samping kratom tergantung pada dosis pemakaian.

Baca Juga: Bukan Hanya Paru, Asap Rokok Juga Ternyata Merusak Kesehatan Mata

Studi yang dilakukan Dimy Fluyau dari Universitas Emory Atlanta, dan Neelambika Revadigar dari Universitas Columbia New York, meninjau 195 artikel penelitian tentang kratom sejak 2007 hingga 2017 untuk menganalisis manfaat, risiko, dan evaluasi diagnosis kratom.

Analisis data menunjukkan, kratom memiliki beberapa manfaat seperti efek stimulan dan obat penenang, serta mengurangi rasa nyeri. "Namun, kratom dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik (kondisi yang memengaruhi aliran empedu hati), kejang, aritmia, mengganggu fungsi memori, koma, hingga kematian," tulis ahli dalam laporan mereka.

Selain itu, kratom juga berdampak pada psikologis dan medis.

Secara psikologis, kratom memicu euforia dan perasaan rileks terhadap gejala yang parah seperti agresi, permusuhan, dan psikosis.

Baca Juga: Ibu Hamil Perlu Memeriksakan Mata Saat Hamil Agar Terhindar Hal Ini

Sementara manifestasi medis yang digambarkan adalah poliuria, kejang, mulut kering, dan muntah.

Poliuria adalah kondisi di mana jumlah urin yang dihasilkan terlalu banyak sehingga menyebabkan penderitanya sering buang air kecil. "Individu yang mengonsumsi kratom dalam dosis besar berisiko mengalami keracunan dan menerima efek buruk dari kratom, terutama bagi mereka yang juga mengonsumsi alkohol berlebih. Dan toksisitas serius jarang terjadi, biasanya setelah mengonsumsi dengan dosis tinggi," tulis ahli dalam laporan mereka.

Baca Juga: Ibu Hamil Perlu Memeriksakan Mata Saat Hamil Agar Terhindar Hal Ini

"Kami berargumen, efek samping kratom lebih besar dari manfaatnya. Bahkan ada penelitian pada hewan yang menunjukkan kratom memicu cedera hati. Meski ini risiko langka, tapi sangat mengkhawatirkan," imbuh penulis.

Sementara itu, jurnal ilmiah yang ditulis Mariana Raini dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI menemukan, penggunaan kratom secara rutin atau dalam suatu periode dapat menimbulkan adiksi dan ketergantungan.

"Pengguna yang mencoba menghentikan penggunaan kratom dapat menyebabkan gejala putus obat," tulis Mariana dalam laporannya.

Gejala putus obat antara lain anoreksia, nyeri dan kejang otot, nyeri pada tulang dan sendi, mata/hidung berair, rasa panas, demam, nafsu makan turun, diare, halusinasi, delusion, mental confusion, gangguan emosional, dan insomnia.

Baca Juga: 5 Gejala Penyakit Mata Umum Terjadi Pada Anak, Orangtua Perlu Waspada

Dia menuliskan, kratom memiliki efek seperti narkotika dan dapat menimbulkan adiksi.

Karenanya, melansir Kompas.com, Australia, Myanmar, Malaysia dan Thailand telah melarang kratom dan beberapa negara lain telah meregulasinya dengan sangat ketat. Di AS, dari pemerintah federal tidak diatur namun ilegal di enam negara bagian.

Sedangkan untuk akar bajakah sendiri, Menurut dr. Windhi Kresnawati, SpA., dokter dari Markas Sehat, yang aktif di Yayasan Orang Tua Peduli, yang diwawancarai GridHEALTH.id, belum bisa disebut obat.

Untuk bisa menjadi obat harus melalui beberapa tahapan.

Tahapan pra-klinik, produk yang teridentifikasi memiliki zat aktif dan cara kerjanya akan di uji coba pada hewan untuk melihat efek letal, toksik, terapi, dan margin of safety sehingga ditemukannya dosis (pada hewan) dari produk tersebut.

Setelah mendapatkan dosis, baru masuk pada uji klinis yaitu percobaan yang melibatkan manusia.

Dalam uji klinis ini terdapat empat fase yang harus dilalui suatu produk sebelum dinyatakan sebagai obat.

Pada fase I, dosis produk akan diuji pada manusia sehat (melibatkan sedikit subjek penelitian), untuk melihat bagaimana tubuh manusia memetabolisme obat tersebut. Apakah hasilnya sama dengan apa yang terjadi pada hewan.  Jika lolos uji klinik 1 maka produk boleh melanjutkan ke uji klinik fase 2.

Baca Juga: Bayi Baru Lahir Wajib Diperiksa Matanya, Ternyata Karena Alasan Ini

Fase II, dalam tahapan ini percobaan akan dilakukan secara spesifik pada manusia sakit, tergantung pada tujuan dan sesuai produk yang sedang diuji.

Misalnya akar Bajakah tunggal, berarti manusia sakit yang di uji adalah penderita kanker.

Namun, manusia sakit yang menjadi percobaan tidak sembarangan, mereka harus menandatangani perjanjian hukum yang diawasi oleh kode etik dan pemerintah, serta produknya pun masih belum boleh dipasarkan.

Pada fase ini akan dievaluasi pemberian dosis dan keamanannya. Jika lolos ujian fase dua maka akan lanjut ke fase tiga.

Kemudian masuk fase III, meski produk sudah boleh diprosuksi tapi masih belum bisa dipasarkan. Pada fase ini juga banyak sekali syarat yang harus dipenuhi .

Baca Juga: Cuma Direhabilitasi, Ternyata Begini Siasat Para Artis Saat Membeli Narkoba

Dari jumlah populasinya yang besar (melibatkan ribuan pasien), harus diagnosis tertentu, dan tindak lanjut yang lama karena harus dinilai efek jangka pendek, menengah, hingga panjang.

Selain itu, ditahapan ini juga produk yang diteliti akan diuji stastistik bersama dengan plasebo atau 'obat kosong'.

Dimana beberapa orang secara acak (random) akan dipilih sebagai subjek penelitian.

Setengah dari orang-orang tersebut diberi obat yang benar-benar mengandung zat obat, sementara setengahnya lagi diberi obat kosong.

Percobaan ini akan membantu peneliti mengetahui apakah obat tersebut benar-benar efektif atau hanya sugesti pasien yang merasa lebih baik karena tahu mereka telah mengonsumsi produk obat tersebut.

Apabila lolos ujia fase 3 (dinyatakan efektif dan aman) maka obat tersebut boleh didaftarkan ke BPOM dan boleh dijual di pasaran.

Fase terakhir alias fase IV adalah post marketing surveillance, yakni kegiatan pengawasan untuk melihat aspek keamanan, khasiat dibandingkan dengan obat standar sebelumnya, dan mutu produk tersebut di populasi.

Baca Juga: Inilah Salah Satu Penyebab Utama Demonstrasi Menjadi Ricuh, Hingga Menyebabkan Aparat Keamanan dan Demonstran Emosi

Sebab produk telah dipasarkan di masyarakat dan dokter pun sudah boleh membuatkan resepnya.

Hal ini dilakukakan karena bisa saja ditemukan very long term effect (efek jangka sangat panjang) dari produk yang telah diedarkan.

Sehingga tak jarang pada beberapa kasus terjadi penarikan obat dari peredaran di masyarakat setelah fase 4 ini.

Nah, setelah membaca penjelasan tersebut, ada baiknya sebelum mempercayai suatu produk dapat mengobati atau menyembuhkan, kita juga harus mengetahui posisi dari pengujian produk tersebut sudah melewati tahapan mana.

Baca Juga: Banyak Varian Susu Tersebar di Supermarket, Perhatikan Beberapa Hal Ini Sebelum Membelinya

Hal ini penting dilakukan untuk mencegah risiko kesehatan atau efek samping yang dapat ditimbulkan, tak terkecuali produk dari akar bajakah tunggal yang belakangan ramai diperbincangkan.

Ingat, sampai saat ini, akar bajakah belum memasuki tahapan penelitian uji klinis. (*)