"Bukan hanya Pilkada itu berpotensi menjadi klaster-klaster, yang artinya akan memakan korban kematian. Potensi kematian adadi dalam klaster-klaster ini, yang artinya orang-orang akan menjadi korban," kata Dicky.
Dicky pesimis mengingat protokol kesehatan ini dilakukan di atas kondisi yang belum terkendali.
"Jadi, yang namanya protokol kesehatan itu akan efektif ketika strategi utamanya sudah dilakukan dengan optimal. Ketika itu belum terkendali ya tetap akan terjadi," sambungnya.
Dicky menjelaskan, setidaknya ada dua contoh negara yang bisa menjalankan pemilu di tengah pandemi virus corona. Kedua negara tersebut adalah Korea Selatan dan Sri Lanka.
Namun Dicky menekankan, kedua negara tersebut telah berhasil mengontrol kondisi pandemi di wilayah mereka, tidak seperti Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa serta-merta merujuk kesiapan Pilkada di tengah pandemi seperti negara lain.
"Kondisi kedua negara itu ketika melakukan pemilu jauh lebih terkendali dari kondisi Indonesia saat ini. Jelas tidak sama kondisinya."
Baca Juga: Obat Ambeien yang Mudah dan Murah, Bisa Lakukan Sendiri di Rumah
Baca Juga: Perawatan Gigi Untuk Ibu Hamil Perlu Karena Gigi Berlubang Bisa Memicu Keguguran
Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, juga menganggap bahwa penundaan Pilkada 2020 adalah solusi terbaik ketimbang bersikukuh dijalankan sesuai rencana.
Pandu pun mempertanyakan komitmen Jokowi yang, pada awal September lalu, menyebut kalau kesehatan jadi fokus nomor satu pemerintah saat ini. "Katanya pak Jokowi mau memenomorsatukan kesehatan?" kata Pandu seperti dikutip dari Kumparan (21/09/2020). (*)
#berantasstunting #hadapicorona