Find Us On Social Media :

8 Bulan Pandemi di Indonesia, Mayoritas Warga Asli Papua Tak Percaya Covid-19

Seorang anggota TNI AD sedang melakukan pemeriksaan kesehatan kepada salah satu warga Papua guna mengantisipasi penyebaran penyakit Malaria.

GridHEALTH.id - Delapan bulan sudah pandemi virus corona (Covid-19) melanda Indonesia.

Namun meski teah memakan banyak korban, nyatanya nyatanya masih banyak masyarakat yang belum percaya akan virus yang ditemukan pertama kali di China ini.

Seperti yang terjadi di Mimika Papua, dimana mayoritas warga disana sama sekali tidak percaya dengan pandemi virus corona.

Alhasil kondisi ini membuat petugas kesehatan kesulitan untuk menelusuri riwayat kontak erat pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Papua.

Kabar itu disampaikan langsung oleh Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Mimika, Obet Tekege seperti dikutip dari Antara, Rabu (4/11/2020).

"Sampai saat ini masyarakat asli Papua tidak percaya akan adanya virus corona, mereka menganggap virus itu dibawa dari luar. Ini tentu menjadi hambatan karena secara data sebagian orang asli Papua di Mimika kini terpapar virus corona," kata Obet.

 Baca Juga: Prediksi Kasus Covid-19 Pasca Libur Panjang Cuti Bersama, Minggu Depan Terjadi Lonjakan?

Baca Juga: Ribut Perkara Penanganan Covid-19, Donald Trump Bakal Pecat Ahli Virus Anthony Fauci Usai Pilpres

Obet yang menjabat sebagai ketua Tim Tracing Contact Covid-19 Mimika itu menambahkan, ketidakpercayaan warga itu justru memunculkan stigma bagi para pasien dan keluarga mereka.

Para petugas yang menelusuri riwayat kontak pasien terkonfirmasi positif Covid-19 juga mendapat sambutan tak ramah dari warga.

Tak jarang, para petugas dicaci maki oleh warga. Bahkan, ada petugas yang mengalami kekerasan fisik.

Baca Juga: Apakah Covid-19 Memengaruhi Siklus Haid Wanita? Ini Jawaban Ahli

"Kami dicaci maki habis-habisan oleh warga, bahkan rekan-rekan kami dilempari batu. Mereka menuding saya seolah-olah Tuhan karena menentukan apakah seseorang terpapar Covid-19 atau tidak. Masyarakat mengancam mendatangi dan akan merusak rumah saya," kata Obet.

Obet menjelaskan, warga yang tak percaya dengan Covid-19 tidak hanya yang bermukim di pinggiran Kota Timika seperti Kwamki Lama, SP13, dan SP7.

Baca Juga: Angka Kesembuhan Covid-19 Hampir 90 Persen, Jokowi: 'Jangan Teledor dan Kehilangan Kewaspadaan'

Masyarakat yang tinggal di Kota Timika pun tak jauh berbeda.

"Apalagi yang tinggal di rumah-rumah kos, itu paling susah untuk ditemui oleh petugas kami karena mereka takut akan adanya stigma dari tetangga yang lain," tuturnya.

Kondisi itu membuat pasien positif Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri tak jujur dengan tim penyelidikan epidemiologi Dinkes Mimika. Mereka kerap memberikan alamat rumah yang tak jelas.

"Mereka melaporkan alamat yang salah, ketika kami datang ke alamat yang diberikan itu, tidak ada warga di sekitar itu yang mengenal yang bersangkutan. Ada juga yang memberikan alamat jelas, namun saat didatangi petugas yang bersangkutan tidak ada di rumahnya," kata Obet.

Baca Juga: Akibat Diam-diam Keluar Temui Keluarganya Saat Isolasi, Pasien Positif Covid-19 Ini Harus Menerima Hukumannya

Jika ditilik dari sisi medis, tindakan diskriminasi yang kerap dialami keluarga pasien Covid-19 dapat mempengaruhi kondisi kesehatan korban, terutama kesehatan mental.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam New Directions for Youth Development, menunjukan efek pengusiran dapat menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan, ketakutan untuk dikucilkan, bahkan depresi berkepanjangan.

Apalagi menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), datangnya virus corona (Covid-19) bisa menimbulkan stres bagi orang.

Baca Juga: Disfungsi Ereksi, Gangguan Seksual yang Jadi Momok Pria Penyandang Diabetes Tipe 2

Ketakutan dan kecemasan tentang penyakit luar biasa, seperti Covid-19 bisa menyebabkan emosi yang kuat pada orang dewasa maupun anak.

Para peneliti telah menemukan bahwa beberapa individu mungkin mengalami masalah kesehatan mental untuk pertama kalinya selama pandemi. Masalah penyesuaian, depresi, dan kecemasan mungkin timbul.

Sebuah studi tahun 2017 yang tercatat dalam Bulletin of World Health Organization, menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah orang melaporkan kesehatan mental dan masalah psikososial selama wabah penyakit virus Ebola di Sierra Leone.

Baca Juga: Beda dengan Beruntusan, Ini Cara Membedakan Moluskum Kontagiosum yang Muncul di Permukaan Kulit

Oleh karenanya, WHO merekomendasikan untuk mencari informasi hanya dari sumber tepercaya dan terutama sehingga kita dapat mengambil langkah untuk mempersiapkan rencana dan melindungi diri dan orang yang dicintai dari penularan Covid-19.

Lebih lanjut, Obet juga berharap warga harus berani menghilangkan sikap tak acuh terhadap pandemi Covid-19. Sehingga, pemerintah bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Kabupaten Mimika memiliki jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi kedua di Provinsi Papua.

Tercatat lebih dari 2.500 kasus Covid-19 di Mimika, 2.100 di antaranya dinyatakan sembuh dan 25 orang meninggal.(*)

 Baca Juga: Diet Ala Krisdayanti yang Saat Ini Menjadi Wakil Rakyat di Parlemen

 #berantasstunting

#hadapicorona