Find Us On Social Media :

Waspada Pandemic Fatique di Masa Pandemi Covid-19, Gejalanya Pasrah yang Tidak Logis

Waspada pandemic fatique, ini gejalanya.

GridHEALTH.id - Pandemi Covid-19 melanda Indonesia sudah satu tahun lebih lamanya.

Selama kurun waktu itu sejak Maret 2020 semua warga masyarakat Indonesia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru yang diluar kebiasaan pada umumnya.

Baca Juga: Mendadak Riset Vaksin Nusantara Terawan Minta Distop Pihak RSUD Kariadi Semarang, Ternyata Ini Masalahnya

Semua aktivitas baik kerja maupun sekolah, dilakukan secara daring, kemana-mana harus mengenakan masker, masuk ke tempat umum harus diukur suhu tubuh, keluar rumah harus pakai masker, hingga mencuci tangan menjadi sebuah keharusan dimanapun dan saat kapanpun.

Belum lagi kita selama pandemi, tidak lagi bisa leluasa berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga dan teman.

Padahal kita sebagai mansuaia adalah makhluk sosial yang butuh bersosialisasi dengan cara bertemu secara fisik.

Kalaupun bertemu secara fisik, dilakukan dengan banyak keterbatasan dan diluar kenormalan sebagai manusia, saat bertemu berjuhan, tidak bisa kontak fisik walaupun sekedar bersalaman, dan satu sama lain akan menutup sebagian besarwajah dengan masker.

Kenyataan ini mau tidak mau akan membawa kepada sebuah kondisi yang disebut Pandemic Fatique.

Baca Juga: Kondisi Ade Londok Memburuk Akibat Terjatuh dari Tangga, Ketahuilah Cara Berikan Pertolongan Saat Terjatuh

Ini adalah sebuah kondisi kejenuhan yang muncul secara alami pada setiap manusia terhadap situasi pandemi.

Walhasil kita akan menjadi manusia pasrah yang tidak logis, dan menantang kondisi.

Setelah gehjala itu muncuk, maka yang terjadi kepatuhan terhadap protokol kesehatan pandemi Covid-19 akan diabaikan.

Kondisi tersebut tentu membahayakan bagi seseorang atau satu keluarga, tapi membahayakan semua manusia yang ada dilingkungannya.

Bagaimana cara mengatasi pandemic fatique?

Pertama, tetap harus ada regulasi kalau secara sosiologi harusnya regulasinya ada berbasis data, penelitian, tidak bisa pukul rata, dan disesuaikan oleh kelompok-kelompok sosial yang ada.

Baca Juga: Jangan Kaget, 5 Buah Ini Ternyata Bisa Mempercepat Pemulihan Orang Sakit

Kedua, community based solution. Melibatkan anggota masyarakat dan komunitas sebagai bagian dari solusi bukan sebagai objek kebijakan.

Ketiga, membuat manusia tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari tapi mengurangi risiko penularan atau tertular dan memahami kesulitan.

Untuk diketahui, untuk mengetahu kita sudah mengalami pandemic fatique atau belum, bisa dilihat dari, "Untuk satu tahun kita mengalami pandemi saya lihat fluktuatif. Sekarang lagi menurun nanti naik lagi itu tanda bahwa sebenarnya kita mungkin sudah punya gelombang pandemic fatigue.

Misal Hari Raya Orang Indonesia paling sulit untuk mempertahankan protokol kesehatan. Lebih mengutamakan relasi keluarga dan kesenangan," kata Daisy Indira Yasmin, seorang sosiolog, dalam acara Forum Ngobras Bersama Frisian Flag bertema "Refleksi Setahun Pandemi, Masyarakat Semakin Abai atau Peduli" pada Senin (22/3/2021).

Untuk itu, menurut Daisy, ketahanan keluarga penting di masa pandemi Covid-19 untuk mencegah anggota keluarga mengalami pandemic fatique.

Baca Juga: 3 Cara Menghilangkan Bekas Jerawat Membandel dengan Minyak Vitamin E

Bagaimana ketahanan keluarga yang diharapkan itu, yang mampu menjaga keseimbangan antara faktor-faktor kerentanan / pengalaman negatif yang akan menghasilkan dampak negatif dengan besarnya pengalaman positif.

"Pandemi menyumbang kerentanan dalam keluarga misalnya ekonomi karena kekurangan pendapatan, emosional karena kehilangan anggota keluarga, perubahan relasi antar keluarga, peran, kesehatan fisik dan mental termasuk di dalamnya tumbuh kembang anak," jelas Daisy.

Untuk itulah, setiap keluarga perlu untuk;

1. Mengurangi sumber beban yang negatif atau stressful, adanya daya dukung pemenuhan basic need, pekerjaan, dan aktivitas anak. 

2. Menambah hal-hal positif: membangun relasi yang suportif dan responsif di antar anggota keluarga, membangun relasi dengan komunitas atau ketetanggaan, dan menggunakan virtuality untuk meningkatkan engagement antar anggota keluarga.

Baca Juga: Oatmeal Paling Rendah Indeks Glikemik, Aman Bagi Penyandang Diabetes Saat Sahur

3. Memindahkan titik tumpu: memberi ruang pada kemampuan kita membangun skill managing daily life dengan fokus mengenali cara mengatasi sumber-sumber negatif sehingga mudah menjalani hidup selama pandemi.

Hal itu bisa dilakukan oleh kita semua. Sebab sejatinya setiap manusia menurut Daisy dibekali kemampuan beradaptasi pada situasi yang ada, tetapi tiap orang memiliki cara dan tingkat adaptasi yang berbeda-beda, tergantung pada;

Pertama motivasi: kenapa harus beradaptasi hingga apa yang harus kita ubah.

Baca Juga: Jokowi Tunjuk Pesantren di Jatim Sebagai Penerima Vaksin AstraZeneca, Para Kyai Setuju

Kedua, dukungan orang terdekat: ini berpengaruh apakah kita bisa bertahan dalam perubahan-perubahan pada masa pandemi Covid-19.

Ketiga, dukungan regulasi: peraturan pemerintah bisa mempengaruhi seberapa lama warga bertahan dalam perubahan-perubahan ini.

Keempat, kemampuan diri sendiri: untuk melakukan tindakan-tindakan baru berarti kita sebenarnya mampu memakai masker untuk bertahan.

Baca Juga: Mengatasi Jerawat di Punggung dengan Beberapa Perubahan Pola Hidup Sederhana

Dari sini muncul kelompok sosial yang lebih sulit beradaptasi yaitu kaum non-digital netizen, kaum muda terkait dengan perubahan kebiasaan berteman dan berkumpul, hingga warga pemukiman padat.(*)

#berantasstunting

#HadapiCorona

#BijakGGL