Find Us On Social Media :

Benarkah Positivity Rate Indonesia di Bawah 5 Persen dari Standar WHO? Ini Pendapat 2 Epidemiolog dari 2 Kampus Berbeda

Positivity Rate Indonesia di Bawah 5 Persen dari Standar WHO

GridHEALTH.id - Senin (13/9) positivity rate Indonesia turun menjadi 2,13 persen.

Kondisi ini tentu menggembiarakan. Sebab positivity rate Covid-19 di Indonesia telah berada di bawah batas aman Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen.

"Per Minggu, positivity rate Indonesia telah turun ke 3,05 persen, atau berada di bawah 5 persen yang merupakan angka ideal dari WHO," papar Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, Selasa (14/9).

Tingkat rata-rata positivity rate saat ini telah turun drastis, melansir Merdeka.com (14/9/2021), dari posisi saat puncak lonjakan kasus terjadi pada Juni-Agustus 2021 yang sempat mencapai 30 persen.

Hal senada dipaparkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (13/09), mengungkapkan rekor terendah angka positivity rate itu, seiring menurunnya kasus penularan Covid-19 di Indonesia belakangan ini, dilansir dari BBC.com (14/9/2021).

"Dari enam indikator WHO, untuk kasus konfirmasi sudah masuk ke level satu, yaitu level yang paling baik di bawah 20 kasus konfirmasi per 100.000 penduduk per minggu, positivity rate-nya sudah turun ke batas normalnya WHO di bawah 5%," ungkap Budi Gunadi.

Untuk diketahui, positivity rate adalah persentase jumlah kasus positif terinfeksi virus corona dibagi dengan jumlah orang yang menjalani tes atau pemeriksaan.

Baca Juga: 5 Cara Perawatan Penyakit Infeksi Campak di Rumah pada Bayi dan Anak

Jadi apabila positivity rate suatu wilayah semakin tinggi, maka kondisi pandemi di daerah tersebut memburuk.

Sebaliknya, jika rendah, kondisi pandemi Covid-19 disuatu wilayah membaik.

Nah, mengenai positivity rate Indonesia saat ini beberapa pakar angkat topi juga meragukan.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia membuktikan keraguannya.

Menurut Tri Yunis Miko Wahyono, standarisasi pelacakan kontak dan testing Covid-19 yang sudah digariskan pemerintah, nyatanya tidak berjalan semestinya di lapangan.

"Kota-kota atau kabupaten tidak ada yang melakukan tes secara sempurna, kecuali Jakarta, tapi kalau tracing-nya semuanya 'hancur'," kata Tri Yunis Miko Wahyono, dikutp dari BBC News Indonesia, Senin (14/9/2021).

Baca Juga: Indonesia Tengah Dipantau WHO, Terdeteksi Varian Baru Covid-19 yang Memiliki Perubahan Pada Materi Genetiknya

Makadari itulah, Tri Yunis meminta pemerintah Indonesia supaya memastikan agar data-datanya terkait penurunan kasus Covid-19 itu "dikonfirmasi dengan baik".

"Makanya saya ingatkan kepada pemerintah, kalau datanya tidak bisa dipastikan, saya khawatir akan terjadi lonjakan [kasus]," ujarnya.

"Kalau tidak standar tesnya, kemudian juga kontak tracing-nya tidak standar, maka kemudian angka yang dibacakan bahwa ada penurunan level itu, ya, berarti angkanya semu," tambahnya.

Temuan tiga kasus terkait pelacakan covid-19 di kota Makassar (Sulsel), dan kota Kendari (Sulawesi Tenggara), yang dilaporkan wartawan setempat kepada BBC News Indonesia, juga menguatkan kekhawatiran pakar penyakit menular tersebut.

Baca Juga: Ada Lagi Varian C.1.2, Ahli Nyatakan Lebih Bahaya dari Varian Delta, Who Sebut Tingkat Penularan Rendah

Hal senada diutarkan epidemiolog Unair Windhu Purnomo.

Menurutnya, "Positivity rate kita sekitar 5%, tapi catatannya macam-macam," kata Windhu Purnomo, diutip dari kumparan (14/9).

Adapun catatan yang dimaksud Windhu yaitu masih adanya potensi gelombang ketiga hingga tes belum merata.

Sedangkan jawaban prihal positivity rate menurun, jawabannya menurut Windhu "Mungkin soal faktornya apa kalau dugaannya saya tapi harus dibuktikan dengan survei, dugaan saya adalah kekebalan populasi akibat infeksi alamiah itu terjadi. Jadi kekebalan yang alamiah bukan karena vaksinasi," ujar Windhu.

Lalu Windhu menjelaskan lebih lanjut dengan fakta vaksinasi corona masih jauh dari target 70 persen populasi.

Sejauh ini baru 19-20 persen yang telah menerima vaksinasi lengkap atau 42 juta orang.

Baca Juga: Menkes: 3.830 Orang Positif Covid-19 Terjaring Aplikasi PeduliLindungi Jalan-Jalan ke Mal, Bandara Hingga Restoran

"Vaksinasi masih jauh. Tapi karena infeksi alamiah yang sudah kita alami kemarin, kemarin kita sempat tinggi banget dan itu tidak semua terdeteksi karena testing kita rendah," jelas Windhu.

Kasus di bulan Juli sangat tinggi 40-50 ribuan. Mencapai puncak tertinggi pada 15 Juli, 56.757 kasus corona terdeteksi dalam 24 jam.

Sementara jumlah tes saat itu juga belum tinggi. Paling maksimal 228 orang per hari. Seharusnya mencapai 400-450 ribu tes.

Nah, dari sini kemudian memunculkan dugaan kasus corona sebenarnya di lapangan bisa jauh lebih dari 50 ribu per hari.

Baca Juga: Marlina Octoria Ungkap Alami Gangguan Organ Vital Akibat Dipaksa Berhubungan Intim saat Menstruasi

Hanya saja mereka tak terdeteksi karena minimnya tes.

Karena itu pula, banyak orang di Indonesia mendapat kekebalan alamiah.

Jadi mengenai positivity rate yang kini sudah di bawah 5 persen, hemat Windhu seluruh pihak harus hati-hati melihat dan mempercayai positivity rate.

Sebab menurutnya positivity rate nasional dihitung dari total tes PCR dan antigen.

Padahal tes antigen di Indonesia ini, papar Windhu, maish banyak dalam keperluan skrining. Jadi tetap dilaporkan sebagai tes, padahal tes yang dimaksud bukan untuk diagnostik seperti PCR.

"Kalau kita lihat yang asli dari PCR enggak bisa serendah ini positivity rate itu, belum mencapai di bawah 5% tapi memang trennya turun," tutur dia.

Diluar itu, "Kabar baiknya karena infeksi yang tinggi itu menyebabkan kekebalan komunitas terbentuk," tutup Windhu yang tetap mengingatkan kemungkinan lonjakan kasus bisa saja terjadi karena pelonggaran dan pelanggaran terhadap protokol kesehatan.(*)

Baca Juga: Marshanda Lakukan Perjalanan Hingga ke Amerika Serikat Untuk Sembuhkan Bipolar, Wanita Lebih Sering Mengalami