GridHEALTH.id - Baru-baru ini ada berita yang mengagetkan bagi para penyandang hipertensi.
Diberitakan ada dua obat antihipertensi diatarik dari pasaran, Irbesartan dan Hidroklorotiazid
Obat antihipertensi tersebut ditenggarai melebihi batas spesifikasi sebagai zat yang berpotensi menyebabkan kanker.
Baca Juga: Pengobatan Kanker Prostat Berdasar Stadium, Operasi Hingga Kemoterapi
Menurut Express.co.uk (21 Oktober 2021), zat yang dimaksud adalah N-nitrosoirbesartan.
Penarikan dua obat tersebut kabarnya telah diumumkan di situs Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Penggunaan Irbesartan dan Hidroklorotiazid pun diberitakan, selain untuk mengobati hipertensi, juga untuk mengobati nefropati diabetik pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2.
Kejadian ini, melansir Viva (21/10/2021), merupakan kasus penarikan kedua terkait obat ini, di mana yang pertama terjadi di Inggris awal Agustus 2021.
Badan Pengawas Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) melakukan penarikan kembali sebanyak 25 batch obat yang mengandung irbesartan.
Baca Juga: Penyakit Infeksi Akibat Virus, Kenali Gejala Cacar Air Pada Bayi
Alasan penarikan obat tersebut pada bulan Agustus sama seperti sekarang, di mana ada kasus kontaminasi dengan zat yang dapat meningkatkan risiko kanker.
Dengan adanya berita tersebut, membuat masyarakat bertanya-tanya, mulai dari adakah obat tersebut di pasarakan di Indonesia, hingga apakah ditarik juga di Indonesia.
Dari hasil penelurusan ditemukan, BPOM RI telah mengeluarkan surat klarifikasi mengenai Irbesartan pada 23 Januari 2019.
Menurut BPOM, dalam surat klarifikasi yang diunggah di unggah di laman BPOM RI (23/1/2019), disebutkan; Sehubungan dengan adanya informasi terbaru tentang penarikan obat antihipertensi Irbesartan di Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh United State - Food and Drug Administration (US FDA) tanggal 18 Januari 2019, BPOM RI memandang perlu memberikan penjelasan sebagai berikut:
Baca Juga: Makan Banyak Tapi Tetap Kurus, Ternyata 6 Hal Ini Bisa Jadi Penyebabnya
* Irbesartan adalah obat keras (dikonsumsi dengan resep dokter) untuk mengobati pasien dengan tekanan darah tinggi, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi dengan antihipertensi lain.
* Pada tanggal 18 Januari 2019, US FDA memberikan pernyataan lanjutan mengenai penarikan obat antihipertensi golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) sehubungan dengan ditemukannya pengotor N-Nitrosodiethylamine (NDEA) pada bahan baku Irbesartan produksi Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China.
* Berdasarkan penelusuran BPOM RI, terdapat obat antihipertensi yang mengandung Irbesartan yang beredar di Indonesia menggunakan bahan baku berasal dari Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China. (Lampiran 1).
* Dalam rangka perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, BPOM RI telah meminta kepada industri farmasi terkait untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi obat serta melakukan penarikan obat yang mengandung Irbesartan dengan sumber bahan baku Zhejiang Huahai China dan melaporkan kepada BPOM RI.
Baca Juga: Segera Vaksinasi, Pemerintah Jamin Vaksin Covid-19 Selalu Tersedia
* Bagi pasien yang sudah mengonsumsi obat Irbesartan yang ditarik sebagaimana terlampir dalam penjelasan ini, dapat berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter/apoteker pada fasilitas kesehatan/fasilitas pelayanan kefarmasian untuk kelanjutan pengobatan.
* Sesuai dengan prinsip utama dalam pemberian obat, BPOM RI mengimbau kepada sejawat kesehatan professional dan semua pihak terkait untuk mengedepankan kehati-hatian dan mengutamakan keselamatan pasien dalam pemilihan obat.
BPOM RI akan terus memantau dan menindaklanjuti permasalahan ini. Jika masyarakat memerlukan informasi lebih lanjut dapat mengubungi contact center HALO BPOM RI di nomor telepon 1-500-533 atau SMS 08121999533 atau e mail halobpom@pom.go.id atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) di seluruh Indonesia.
Sedangkan untuk obat antihipertensi Hidroklorotiazid, belum ditemukan adanya klarifikasi di laman BPOM RI.
Baca Juga: Segera Vaksinasi, Pemerintah Jamin Vaksin Covid-19 Selalu Tersedia
BPOM RI, dilansir dari Putar Informasi Obat Nasional (PIONAS), pada artikel dengan judul 'HIDROKLOROTIAZID' menyebutkan, obat ini;
Indikasi: edema, hipertensi.
Peringatan: Pengurangan volume intravaskular: Gejala hipotensi khususnya setelah dosis pertama dapat terjadi pada pasien yang kehilangan volume dan/atau garam oleh karena terapi diuretika, pembatasan diet garam, diare atau muntah; Arteri stenosis ginjal; Hipertensi renovaskular; Pasien dengan gangguan ginjal dan transplantasi ginjal; Pasien dengan gangguan hati: tiazid tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau penyakit hati progresif sejak alterasi minor dari larutan dan keseimbangan elektrolit dapat mempercepat koma hepatik; Pasien penderita katup jantung stenosis aorta dan mitral, hipertrofi obstruktif kardiomiopati; Pasien dengan aldosterisme primer; Metabolik dan efek endokrin: tiazid dapat mengganggu toleransi glukosa.
Baca Juga: Kini Tak Harus Minum Obat Kolesterol Tiap Hari, Cukup Setahun 2 Kali Suntikan
Pada pasien diabetes diperlukan penyesuaian dosis insulin atau agent oral hipoglikemik; Kondisi lain yang distimulasi oleh sistem renin-angiotensin-aldosteron; Ketidakseimbangan elektrolit: tiazid dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiponatremia dan hipokloremik alkalosis). Tiazid dapat menurunkan eksresi kalsium urin dan dapat menyebabkan peningkatan serum kalsium sedikit demi sedikit dengan tidak adanya gangguan yang diketahui dari metabolisme kalsium. Hiperkalsemia ditandai dengan adanya hiperparatiroidisme yang tersembunyi.Penggunaan tiazid harus dihentikan sebelum melakukan test untuk fungsi paratiroid. Tiazid juga menunjukkan peningkatan eksresi magnesium urin yang dapat mengakibatkan hipomagnesemia.
Interaksi:
Baca Juga: Selain Baik Bagi Kesehatan Tubuh, Apel Juga Berkhasiat untuk Kecantikan Kulit alkohol, barbiturat atau narkotik; obat-obat antidiabetik (oral dan insulin); kolestiramin dan resin kolestipol; kortikosteroid, ACTH; glikosida digitalis; AINS; pressor amine (seperti noradrenalin); relaksan otot skelet nondepolarizing; garam kalsium; atropin, beperiden, siklofosfamid, metotreksat.
Kontraindikasi: Gangguan hati berat, gangguan ginjal berat (kreatinin klirens < 30 mL/menit), hipokalemia refraktori, hiperkalsemia, hamil dan menyusui (lihat lampiran 4 dan 5).
Efek Samping: anoreksia, penurunan nafsu makan, iritasi lambung, diare, konstipasi, sialadenitis, pankreatitis, jaundice, xanthopsia, gangguan penglihatan sementara, leukopenia, neutropenia/ agranulositosis, thrombositopenia, anemia aplastik, anaemia hemolitik, depresi sumsum tulang belakang, reaksi fotosensitivitas, ruam, reaksi seperti cutaneous lupus erythematosus, reaktivasi cutaneous lupus erythematosus, urtikaria, vaskulitis, cutaneous vasculitis, reaksi anafilaksis, keracunan epidermal nekrolisis, demam, penekanan saluran pernafasan, gangguan ginjal, nefritis interstisial, kejang otot, lemas, gelisah, kepala terasa ringan, vertigo, paraesthesia, hipotensi postural, kardiak aritmia, gangguan tidur dan depresi.
Baca Juga: Hanya di Indonesia, Inilah 3 Cara Mudah Daftar Vaksin Covid-19
Dosis:
* edema, dosis awal 12,5-25 mg sehari, untuk penunjang jika mungkin dikurangi; edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika berat, awalnya 75 mg sehari.
* Hipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari (lihat juga keterangan diatas). Usia Lanjut. Pada pasien tertentu (terutama usia lanjut) dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.(*)
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Dijual 300 Ribu Oleh Oknum, Ini Hukuman yang Setimpal Bagi Pelaku