GridHEALTH.id - Sepanjang 2021, LaporCovid-19 menerima sedikitnya 71 laporan warga yang melaporkan kejadian penyimpangan maupun penyalahgunaan pada program vaksinasi Covid-19.
Sebagian besar laporan, ada 27 laporan, diduga melibatkan oknum petugas hingga pejabat atau kepala daerah yang memiliki akses secara langsung terhadap distribusi vaksin.
Salah satu temuan lain dari audit BPKP juga mengindikasikan adanya penyalahgunaan persediaan vaksin, di antaranya pemberian vaksin booster kepada kelompok non nakes.
Mengenai hal itu, Anggota koalisi LaporCovid-19 Amanda Tan mengatakan, pihaknya menerima 71 laporan penyelewengan vaksin Covid-19 selama 2021.
Baca Juga: Waspadai Penyakit Infeksi Balanitis Jika Muncul Bintik-bintik di Penis, Begini Cara Menanganinya
Menurut Amanda, ada 33 laporan terkait pemberian vaksin booster untuk kelompok non-nakes.
Padahal, saat itu, penyuntikan vaksin booster hanya diberikan kepada tenaga kesehatan (nakes).
"Ada 33 laporan dari 71, mengenai pemberian vaksin (booster kepada non-nakes)," jelas Amanda dalam diskusi secara virtual, Selasa (4/1/2021).
Laporan terbanyak terkait pemberian vaksin booster terjadi pada Agustus-September.
"Satu kasus bulan September ada pemberian vaksin booster kepada guru besar salah satu fakultas di PTN di Surabaya," ujarnya.
Ada lagi di Probolinggo, pemberian vaksin booster dengan dalih untuk memenuhi syarat umrah.
Baca Juga: 6 Penyebab Menstruasi Lama yang Perlu Diwaspadai, Bisa Ganggu Kesuburan
Padahal, kata Amanda, saat itu belum ada aturan resmi terkait vaksin booster bagi calon jemaah umrah.
Minim Informasi dan Transparansi Distribusi Vaksin
Asal tahu saja, penyimpangan atau penyalahgunaan program vaksinasi seperti itu berpotensi menghambat publik mendapatkan hak atas kesehatan, termasuk layanan vaksinasi.
Selain itu, semakin memperlebar ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan yang setara.
Dalam kasus ini, melanisr Siaran Pers LaporCovid19, Pemerintah bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal. Antara lain melalui penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak, serta mudah diakses oleh masyarakat.
Klausul ini pun sudah tertera di dalam konstitusi, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan sejumlah peraturan lainnya.
Baca Juga: Sudah Hampir 2 Tahun Pandemi Berlangsung, Ilmuwan Masih Berdebat Soal Teori Asal Hewan Covid-19
Selama ini mekanisme distribusi vaksin Covid-19 ke daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, yang juga menetapkan kebutuhan vaksin sesuai jenis, jumlah yang akan dibutuhkan, hingga harga satuan vaksin.
Sementara, pemerintah daerah bertugas untuk meneruskan vaksin ke fasilitas kesehatan sehingga dapat menyelenggarakan program vaksinasi Covid-19.
Namun, hingga saat ini publik masih kesulitan untuk mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin yang digunakan baik mulai dari proses pengadaan, distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hingga pencatatan vaksinasi kepada kelompok penerima.
Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak terjadi penyimpangan maupun penyalahgunaan dalam distribusi vaksin.
Baca Juga: Kenali Penyebab Mengapa Miss V Bau dan 4 Cara untuk Mengatasinya
Minimnya informasi serta transparansi distribusi vaksin Covid-19 menyebabkan publik kesulitan mendapatkan informasi secara real time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya.
Vaksin Kadaluarsa dan Diperjualbelikan di Marketplace
Implikasi lainnya adalah banyaknya vaksin kadaluarsa.
Berdasarkan catatan Koalisi, terdapat sekitar 6.100 vaksin jenis AstraZeneca yang telah kedaluwarsa.
Tentunya hal ini berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Adapun kegagalan dalam pendataan penerima vaksin yang solid dapat diatribusikan terhadap kegagalan negara dalam mendistribusikan vaksin Covid-10 sesuai dengan jumlah penerima.
Akibatnya, ketersediaan informasi tersebut juga diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin atau adanya vaksin yang kadaluarsa.
Baca Juga: 5 Manfaat Tidur Memakai Kaus Kaki, Salah Satunya Mengatasi Insomnia
Selain itu, menurut Amanda, selain penyuntikan vaksin booster kepada non-nakes, pihaknya juga menerima aduan terkait jual beli vaksin Covid-19 di Tokopedia.
Ia mengatakan, pihaknya sudah melaporkan temuan tersebut kepada kementerian terkait, namun tidak mendapatkan respons.
"Kami juga melakukan pengaduan tersebut ke Itjen Kemenkes, namun kemudian dicap sebagai hoaks oleh Kominfo, padahal saat itu kami cukup menelusurinya dan memang ada spek vaksin yang ditampilkan, apa saja vaksinnya, dan bagaimana cara transfer uang dan sebagainya," pungkasnya, dikutip dari Kompas.com (4/1/2022).(*)
Baca Juga: Strain IHU Miliki 46 Mutasi, Walau Tahan Vaksin Bukan Berarti Lebih Berbahaya