Find Us On Social Media :

Solusi Produk Farmasi yang Bersinggungan dengan Zat Diharamkan dalam Islam

Solusi sertifikasi halal produk farmasi, khususnya yang bersinggungan dengan zat yang diharamkan dalam Islam.

GridHEALTH.id - Sesuai Undang Undang No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal. Obat atau produk farmasi termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal.Namun, terdapat tantangan yaitu status kehalalan sangat sulit untuk diketahui, mengingat kemungkinan kehalalannya belum dipersyaratkan di negara produsen.

Asal tahu saja, penemuan dan pengembangan obat baru, dilakukan melalui penelitian yang lama antara 10 sampai 20 tahun, dan umumnya dilakukan di luar negeri.

Dalam pengembangan obat harus dilakukan studi pre-klinik, studi klinik, formulasi dan teknologi untuk membuktikan serta memastikan keamanan, khasiat, dan mutu produk obat tersebut.

Penemuan obat yang berasal dari binatang akan berisiko dengan sesuatu yang tidak halal, misalnya kandungan aktifnya berasal dari babi atau pada proses pembuatannya pernah bersinggungan (misalnya sebagai katalisator) dengan bahan bersumber babi.Karenanya untuk melakukan penjaminan halal pada produk Farmasi, diperlukanlah standardisasi. Standar halal produk farmasi terdiri dari persyaratan halal, pedoman produksi halal, kriteria alal, dan metode pengujian halal.

Kriteria produk halal harus memenuhi berbagai tahap seperti proses dan fasilitas produksi halal, kepastian semua bahan yang digunakan halal, sistem penyimpanan dan distribusi yang halal, serta tidak terjadi kontaminasi dengan barang haram.Terkhusus untuk produk farmasi, terdapat berbagai legal aspek obat yang harus dipenuhi.

Baca Juga: 4 Cara Alami Mengobati Diare Gegara Makanan Bersantan Saat Lebaran

Pertama, sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat, dan bermutu sesuai Undang Undang No. 36, Pasal 98, Tahun 2009.

Kedua, sediaan farmasi berupa obat dan bahan baku obat juga harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya sesuai dengan Undang Undang No. 36, Pasal 105, Tahun 2009.

Ketiga, obat tradisional juga harus memenuhi Farmakope Herbal Indonesia.

Keempat, alat farmasi dan juga berbagai produk farmasi juga harus memiliki izin edar serta wajib bersertifikat Halal.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D., menyampaikan pandangannya terkait pro-kontra sertifikasi halal bagi produk farmasi, melalui surat elektroniknya kepada Pusat Komunikasi Publik Kemenkes (16/12/2013).Menurutnya, dilansir dari SehatNegeriku (23/12/2013), terdapat dua alternatif kebijakan pemerintah terkait obat yang menggunakan bahan baku bersumber binatang atau dalam proses produksinya pernah bersinggungan dengan bahan bersumber babi, yakni sebagai berikut:Apabila masih terdapat alternatif lain, misalnya tersedia bahan bersumber sapi, maka terhadap produk obat tersebut tidak dapat diberikan izin edar. Contoh produk sudah ada alternatif sapi, yaitu:* heparin berat molekul tinggi, yang disetujui hanya yang dari human dan sapi;  

* Insulin yang disetujui hanya yang non-babi. Sebagai informasi, dahulu pernah beredar insulin berasal dari babi sebelum ditemukan insulin non-babi;

Baca Juga: Seperti Ini Menu Acar yang Bisa Kendalikan Dampak Buruk dari Makanan Bersantan

* Cangkang kapsul harus dari gelatin sapi atau non-babi.Apabila tidak ada alternatif lain, maka akan dikaji manfaatnya secara medis dan diberikan transparansi informasi pada label produk.

Contoh: heparin dengan berat molekul rendah berasal dari babi dan belum ada yang dari sapi, persetujuan harus mengikuti ketentuan transparansi informasi pada label.

Peraturan terkait dengan informasi asal bahan obat terdapat pada Peraturan Kepala Badan POM No. Hk.03.1.23.06.10.5166 tahun 2010.Penemuan obat yang berasal dari binatang akan berisiko dengan sesuatu yang tidak halal, misalnya kandungan aktifnya berasal dari babi atau pada proses pembuatannya pernah bersinggungan (misalnya sebagai katalisator) dengan bahan bersumber babi.

Dalam hal ini prinsip penerimaan obat tersebut di Indonesia adalah kedaruratan, apabila tidak ada alternatif lain.

Selanjutnya, apabila di kemudian hari dengan adanya perkembangan riset dan teknologi, ditemukan alternatif non babi untuk zat yang sama, produk tersebut segera diganti dengan alternatif non babi, contohnya adalah produk insulin.

Sedangkan menurut Guru Besar Sekolah Farmasi ITB dan Ketua Umum Pusat Studi Halal Salman ITB, Prof. Dr. apt Slamet Ibrahim Surantaatmadja, DEA, pada webinar yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Farmasi “BIFOSFONAT” ITB (HMPF ITB), Minggu (6/3/2022).

Untuk menyukseskan strategi penjaminan halal untuk produk Farmasi, hadirlah konsep Halal by Design.

Baca Juga: Bisa Sebabkan Sulit BAB, 4 Menu Lebaran Ini Sebaiknya Dihindari

“Halal by Design adalah suatu pendekatan sistematik dan ilmiah dalam merancang pengembangan suatu produk halal. Diawali dengan perencanaan, pemilihan, bahan, proses produksi, hingga penjaminan produk halal yang berbasis manajemen halal sesuai Syariat Islam,” papar Prof. Slamet, dilansir dari itb.ac.id (12/3/2022).

Konsep Halal by Design pertama kali diciptakan dengan mengadopsi konsep Quality by Design yang diperkenalkan oleh Dr. Joseph M. Juran yang kemudian dikombinasikan dengan manajemen risiko mutu.

Tahapan implementasi Halal by Design dimulai dari target produk Halal, sistem jaminan produk Halal, pengembangan dan analisis titik kritis, penetapan bahan Halal.

Pemilihan fasilitas produksi dan distribusi. penerapan strategi, hingga mendapatkan sertifikat Halal.

“Keberhasilan penerapan konsep ini sangat bergantung pada tekad, niat, dan upaya yang kuat untuk menerapkan strategi produksi produk yang halal dan baik,” tegas Prof. Slamet.(*)

Baca Juga: 5 Kue Lebaran yang Bentuk Fisiknya Kecil Tapi Bisa Bikin Gendut