Find Us On Social Media :

Sudah Dilabeli BPA Free, Galon Kemasan Sudah Pasti Aman? Bagaimana dengan Kandungan Acetaldehyde, Risiko Pemicu Kanker dalam PET?

BPOM berencana berikan label BPA Free pada galon kemasan, sudah pasti aman? Bagaimana dengan kandungan Acetaldehyde, pemicu kanker pada plastik PET galon sekali pakai?

Baca Juga: Siap-siap, Gaji di Atas Rp 3,5 Juta Hingga Setara UMP Boleh Terima Bantuan Subsidi Upah Akibat Kenaikan BBM

 “Padahal belum tentu. Karena dari  PET juga memiliki risiko dari kandungan yang lain, seperti dari kandungan acetaldehyde lalu etilen glikol, dan dietilen glikol,” papar Dr. Nugraha menjelaskan ada bahan lain yang juga perlu diperhatikan.Salah satu bahan kandungan dalam plastik PET pada galon isi ulang adalah acetaldehyde, yang telah diakui mengandung unsur pemicu kanker, karsinogenik.Label BPA Free Berpotensi Menimbulkan Timbunan Sampah PlastikAsrul juga menilai rencana BPOM dalam pelabelan BPA Free pada galon kemasan telah melupakan dan mengabaikan hal krusial, terkait potensi timbunan sampah plastik akibat penerapan aturan ini.Menurutnya dengan aturan ini maka galon kemasan isi ulang akan ditinggalkan dan diganti pada galon sekali pakai, hasilnya semakin banyak jumlah timbunan sampah plastik dari air kemasan yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).“Faktanya galon sekali pakai juga jatuhnya di TPA. Malah merugikan masyarakat karena yang seharusnya di rumah tangga diisi ulang, malah sekali pakai,” tegas Asrul.Asrul menyampaikan  seharusnya BPOM memperkuat UU No 18 Tahun 2008 terkait Pengelolaan Sampah dengan peraturan pemerintah yang bisa mendorong penerapan Extended Producer Responsibility, sebuah aksi yang merupakan bagian dari tanggung jawab produsen.Memperkuat potensi timbulnya timbunan sampah plastik efek dari penerapan label BPA Free, Rachmat juga menyebutkan kemungkinan sampah plastik dari galon kemasan sekali pakai akan bertambah sebanyak 70 ribu ton per tahun.Rachmat menganalogikannya dari tingkat konsumsi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon yang diperkirakan sebesar 20 miliar liter per tahun.“Jika satu galon berisi 20 liter, kata Rachmat, maka akan ada 1 miliar galon sekali pakai yang terbuang dan jika dikalikan berat kemasan kosong AMDK galon seberat 799 gram, maka akan ada tambahan 70 ribu ton sampah plastik per tahun dari galon sekali pakai,” ujar Rachmat.

Baca Juga: Healthy Move, Viral di TikTok Hula Hoops Berbobot, Bantu Menurunkan Berat Badan dengan Cepat

Baca Juga: Sederet Aktivitas Fisik Penting Bagi Kesehatan Jantung Selain Berolahraga

Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak dan perlu diperhatikan oleh BPOM sebelum mengesahkan peraturan pelabelan BPA Free pada galon kemasan.Eksistensi Air Mineral Bagi KesehatanJumlah sampah plastik galon kemasan isi ulang yang mencapai perkiraan 70 ribu ton tidak terlepas dari eksistensi air mineral bagi manusia.Disebutkan oleh dr. Dyah Novita Anggraini, praktisi kesehatan bahwa tubuh manusia sebanyak 70% mengandung air.Oleh karena itu, air sudah menjadi kebutuhan wajib bagi semua manusia untuk dipenuhi asupannya.Air mineral sangat bermanfaat bagi kesehatan karena akan membantu fungsi tubuh berjalan dengan baik.Tubuh juga membutuhkan asupan mineral dari luar, seperti mikronutrien yang bisa didapatkan dari air mineral.Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari penggunaan air mineral dalam kehidupan sehari-hari.Air mineral pun dijadikan pilihan bagi masyarakat untuk pemenuhan hidrasi tubuh, “Dengan mengonsumsi air mineral, selain hidrasi tubuh tercukupi, juga akan menjaga keseimbangan elektrolit yang dibutuhkan,” kata dr. Dyah. Dr. Dyah juga mengatakan masyarakat memilih air mineral dalam kemasan karena air mineral dipercaya telah dikemas secara praktis dan higienis sesuai standar yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan,  sehingga kualitasnya terjaga.“Seluruh air mineral dalam kemasan sudah memenuhi standar SNI, di bawah Kemenperin dan BPOM. Dan higienis karena sudah ada parameter fisik yang sesuai dengan arahan dari Kementerian Kesehatan. Kandungannya juga tidak berwarna dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya seperti E-Coli,” tutup dr. Dyah. (*)