"Semua yang diidentifikasi positif dalam hasil tesnya pasti mucul penolakan, saya juga sama. Kenapa mesti saya? Kenapa bukan pekerja seks yang mangkal di Lapangan Banteng? Mereka bisa gonta-ganti pasangan dua hingga tiga kali dalam semalam. Saya hanya dengan satu pasangan," kata EH."Saya ikhlas menerima ini, tapi saya berdoa kepada Tuhan untuk mendapat bimbingan menjalani ini semua. Ibarat kata, ular sudah masuk rumah, yang terpenting bukan dari mana ular itu datang, tapi bagaimana ular itu pergi dan tidak kembali lagi," katanya.
Hingga akhirnya, EH merasa beruntung mendapatkan bimbingan dari dokter pribadi.
Sempat merasa putus asa, EH justru mendapatkan dukungan positif dari dokternya untuk bisa menjadi motivator bagi sesama pengidap HIV.
Pasalnya, EH juga jadi salah satu pengidap yang mengonsumsi ARV.
Bukan tanpa alasan, ARV jadi salah satu obat yang mencapai puluhan juta hanya untuk stok satu bulan dan dapat diperoleh di Singapura.
"Efek dari obat kanker itu membuat gosong seluruh tubuh, bahkan teman saya pernah bilang 'Ya Ampun, lo kayak dikutuk'. Itulah kenyataannya, ya saya menerima saja kondisi seperti itu," kata EH. Ia juga pernah pula mengalami alergi hingga seluruh tubuh.
Perjuangan EH tak sampai di situ, pada tahun 2004 dirinya justru mengalami kondisi tubuh yang memprihatinkan.
Lalu CD4, atau jenis sel darah putih yang berguna untuk imunitas, di tubuh EH juga menurun drastis.
Bila pada orang sehat, kandungan CD4 berkisar antara 400 hingga 2000 sel, pada tubuh EH hanya tinggal 13 lantaran mati karena HIV.
Kondisinya yang memprihatinkan kala itu memaksa EH dan dokternya, ZD, untuk melakukan tes resistensi obat di Thailand.
Baca Juga: Inilah Kisah Seorang Penyintas HIV yang Sempat Diusir oleh Keluarga
Hasil tes mengejutkan, ia resisten terhadap 15 jenis obat, padahal ia baru menggunakan tujuh jenis di antaranya sebagai ARV.