Sejak 1997, WHO telah merekomendasikan parasetamol (atau juga dikenal sebagai asetaminofen) sebagai obat untuk penanganan demam anak-anak, termasuk DBD.
Memang reaksinya tidak secepat antidemam yang lain, tapi lebih aman untuk si sakit.
Baca Juga : Musim Demam Berdarah, Kenali Fase DBD yang Sering Mengecoh Kita juga Dokter
ASA dikategorikan sebagai obat demam yang tidak aman karena bersifat asam, sehingga berisiko merangsang lambung dan menyebabkan perdarahan.
Ini jelas berbahaya karena salah satu gangguan yang dialami penderita DBD adalah perdarahan lambung.
Dapat dibayangkan jika ASA diberikan pada penderita DBD, lambung yang sudah terluka kembali “diiris” oleh zat asam yang ada pada ASA.
Ditinggalkannya ASA sebagai penurun demam juga karena efek samping Sindroma Reye (Reye’s Syndrome) yang bisa ditimbulkannya.
Sindrom yang dapat mengganggu darah, hati dan otak ini amat berbahaya karena dapat mengancam jiwa anak.
Baca Juga : Guru Ini Hampir Kehilangan Hidung Akibat Kulit Kering dan Migrain
Menurut AC Nielsen, 76% produk obat penurun demam yang dikonsumsi anak di wilayah perkotaan Indonesia mengandung ASA (di pasaran ASA juga dikenal dengan nama salicylate, acetylsalicylate, aspirin, asam salisilat, atau asetosal).
Golongan ibuprofen atau phenylpropionac acid setali tiga uang dengan ASA.
Obat ini pun bersifat asam dan dapat menimbulkan perdarahan di lambung, sehingga tidak dianjurkan untuk pengobatan DBD.
Ibuprofen juga mengganggu proses pembekuan darah, padahal penderita DBD, mengalami berkurangnya zat pembeku darah.
Tidak cuma itu. Ibuprofen juga berbahaya karena dapat menurun- kankan jumlah trombosit.
Baca Juga : Kunci Panjang Umur Ternyata Mudah, Hanya Ikuti 6 Langkah Ini
Ini jelas sebuah ironi, karena di satu sisi penderita DBD harus berjuang menaikkan jumlah trombosit, sedangkan di sisi lain ibuprofen justru menggerogoti jumlah trombosit di dalam tubuh.
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar