GridHEALTH.id - Kasus tuli kongenital di Indonesia ternyata cukup besar, di mana sekitar 5000 bayi lahir dalam kondisi tuli yang berisiko sebabkan tuli bisu.
Akar masalah tuli kongenital ini berada di telinga dalam, ia yang bertugas membantu keseimbangan dan menyalurkan suara ke sistem saraf pusat.
Namun pada anak yang mengalami tuli kongenital akan sulit mengolah informasi karena telinga bagian dalam tidak berfungsi.
Hal ini bisa berdampak pada keterlambatan berbicara, perkembangan kemampuan bebahasa, gangguan komunikasi, gangguan proses belajar serta perkembangan kepandaian.
Baca Juga : Memantau Gerak Janin, Berikut Cara Pantau dan Membaca Arti Gerakannya
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran berat yang terjadi sejak lahir.
Gangguan pendengaran jenis itu disebabkan karena bawaan (riwayat hamil dan riwayat lahir) dan didapat (infeksi).
"Kelemahan kita kadang-kadang adalah menunggu. Menunggu sampai anak nanti deh sampai usia satu tahun. Tunggu deh usia dua tahun, kok tidak bisa ngomong-ngomong ya? Baru dibawa ke dokter, dan itu sudah agak terlambat," jelas dr. Hably Warganegara, Sp. THT-KL, melansir Nakita.ID (28/2/2019).
Menurut dr. Hably, dari bayi sudah lahir seharusnya sudah dilakukan pemeriksaan gangguan pendengaran.
Hal ini karena, tuli kongenital pada anak mempengaruhi perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial.
"25 persen anak belum bisa ngomong atau delayed speech berada di gangguan THT. Normalnya pendengaran kita antara 0 sampai 25, ibaratnya kalau kita periksa mata minusnya tidak ada, tetapi kalau sudah dibawah 25 itu sudah mengalami gangguan pendengaran," jelas dr. Hably.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya, menurut Joint Committee on Infant Hearing tahun 1990, adalah riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran bawaan, riwayat infeksi prenatal (torchs, rubella, sitomegalovirus).
Menurut NCBI, penyebab genetik merupakan penyebab sebagian besar kasus ini di negara maju.
Lalu bagaimana cara mencegahnya?
Berdasarkan laporan WHO, setengah dari semua kasus gangguan pendengaran dapat dicegah melalui langkah-langah kesehatan masyarakat.
Baca Juga : Tidak Selalu Sempurna, Kate Middleton Pernah Ditindas dan Adiknya James Middleton Alami Depresi
Pada anak di bawah 15 tahun, 60% gangguan pendengaran disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah.
Angka ini lebih tinggi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (75%) dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi (49%).
Secara keseluruhan, penyebab gangguan pendengaran anak yang dapat dicegah meliputi:
- Infeksi seperti gondok, campak, rubela, meningitis, infeksi sitomegalovirus, dan otitis media kronis (31%).
- Komplikasi pada saat kelahiran, seperti kelahiran asfiksia, berat badan lahir rendah, prematur, dan penyakit kuning (17%).
- Penggunaan obat-obatan ototoxic pada ibu hamil dan bayi (4%).
Beberapa strategi sederhana untuk pencegahan gangguan pendengaran meliputi:
- Mengimunisasi anak-anak terhadap penyakit anak-anak, termasuk campak, meningitis, rubella dan gondong.
- Mengimunisasi remaja perempuan dan wanita usia produktif terhadap rubella sebelum kehamilan
Baca Juga : Memantau Gerak Janin, Berikut Cara Pantau dan Membaca Arti Gerakannya
- Mencegah infeksi sitomegalovirus pada ibu hamil melalui kebersihan yang baik, penyaringan dan perawatan sifilis dan infeksi lain pada wanita hamil
- Memperkuat program kesehatan ibu dan anak, termasuk mempromosikan persalinan yang aman
- Mengikuti praktik perawatan telinga yang sehat, mengurangi paparan (baik pekerjaan maupun rekreasi) terhadap suara keras dengan meningkatkan kesadaran tentang risiko dengan menggunakan perangkat pelindung pribadi seperti penyumbat telinga dan earphone dan headphone peredam bising.
- Penyaringan anak-anak untuk otitis media, diikuti oleh intervensi medis atau bedah yang sesuai
- Menghindari penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat membahayakan pendengaran, kecuali ditentukan dan dipantau oleh dokter yang berkualifikasi
- Merujuk bayi yang berisiko tinggi, seperti mereka yang memiliki riwayat keluarga tuli atau mereka yang lahir dengan berat badan lahir rendah, asfiksia lahir, ikterus atau meningitis, untuk memeriksa pendengaran dini, memastikan diagnosis yang tepat dan penanganan yang tepat
Baca Juga : Hanya Dengan Jalan Sehat Keliling Kompleks, Berat Badan Turun 163 Kg!
Source | : | WHO,ncbi.nlm.nih.gov,Nakita.ID |
Penulis | : | Rosiana Chozanah |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar