GridHEALTH.id - Beberapa pemerintah Eropa telah menolak peralatan buatan China yang dirancang untuk memerangi virus Corona COVID-19.
Sebelumnya Kementerian Kesehatan Belanda menarik 600 ribu masker wajah pada akhir Maret karena tidak cocok dan filternya rusak.
Spanyol mengalami masalah yang serupa dengan kit pengujian dari China ketika 60 ribu tes yang dibelinya tidak lolos akurasi.
Bahkan Perdana Menteri Slovakia Igor Matovic, mengatakan sejuta alat tes dari China tidak akurat, dan sebagian rusak saat sampai di tempat.
Saking kesalnya, otoritas kesehatan Slovakia memerintahkan untuk langsung membuangnya di sungai Danube.
Irlandia juga mengeluarkan ultimatum ke China minggu lalu. Hal itu dikarenakan 20%dari Alat Pelindung Diri (APD) senilai 176 juta pound atau setara 3 triliun yang dibeli dari China tidak dapat digunakan oleh petugas kesehatan di garis depan.
Baca Juga: Akibat Kekurangan, Ribuan Masker Medis di AS Didekontaminasi Agar Bisa Dipakai Lagi
Baca Juga: Dokter Mata Amerika Sarankan Lepas Contact Lens Saat Pandemi Covid-19
Pemerintah Inggris pun kebagian apes, bahkan pemerintah Inggris ingin uangnya dikembalikan oleh China setelah 3,5 juta tes antibodi yang dibelinya dinilai tak akurat.
Departemen Kesehatan Inggris mengaku tidak ada satupun alat tes yang dipesan dari produsen China pada Maret lalu, lulus saat pemeriksaan akurasi.
"Kami saat ini bekerja dengan beberapa perusahaan yang menawarkan tes antibodi dan mengevaluasi keefektifannya," ujar juru bicara Departemen Kesehatan, dikutip dari Dailymail.
Dr Bharat Pankhania, dosen klinis senior dari University of Exeter Medical School, mengklaim di tengah pandemi Corona banyak produsen asing yang menjual barang-barangnya di bawah standar.
"Kami sekarang terikat pada pembuatan asing yang dapat memasok dengan barang-barang di bawah standar pada saat krisis (pandemi Corona)," ujar Dr Bharat.
Para pakar mengatakan bahwa Inggris hadapi kemungkinan sebagai negara paling parah terkena dampak pandemi Covid-19. Italia, Prancis, dan AS telah melaporkan penurunan jumlah kematian akibat Covid-19 dalam 24 jam terakhir.
Setelah dirawat selama delapan hari akibat mengidap COVID-19, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada Minggu (12/04).
Baca Juga: Ibu Menyusui Ingin Ikut Puasa Ramadan, Coba Cek Dulu Saran Dokter Ini
Baca Juga: Berantas Stunting : Jangan Sampai Anak Terhambat Cita-citanya Akibat Stunting, Ini Cara Mencegah
Pekan lalu, Johnson yang berusia 55 tahun dibawa ke Rumah Sakit St Thomas di London pada Minggu malam (05/04). Dia dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU) pada hari berikutnya dan tetap dirawat di sana hingga Sabtu (09/04).
Sementara Johnson telah diperbolehkan pulang, para menterinya mendapat tekanan dari publik untuk menjelaskan mengapa jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 di Inggris meningkat begitu cepat.
Jumlah kematian nasional akibat Covid-19 di negara itu telah mencapai 10 ribu orang.
Inggris melaporkan peningkatan kematian lebih dari 900 orang selama dua hari berturut-turut.
Jumlah kematian pada Jumat (10/04) adalah 980 orang dan tercatat telah melampaui total kematian harian tertinggi di Italia -negara yang paling 'terpukul' di Eropa sejauh ini.
"Inggris kemungkinan akan menjadi salah satu negara yang paling parah terkena dampak di Eropa," kata Jeremy Farrar, direktur yayasan kesehatan Wellcome Trust dan anggota panel ilmiah yang memberi nasihat kepada pemerintah, kepada BBC.
Saat diminta mengomentari pernyataan tersebut, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock tidak membantahnya.
Baca Juga: Koma Diabetes Paling Ditakuti Penderita Diabetes, Apa Penyebabnya?
Baca Juga: 3 Jenis Kontrasepsi Aman Setelah Melahirkan, Tak Mengganggu ASI
Hancock juga terus diminta menjelaskan masalah kurangnya persediaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas medis dan tingkat pengujian Covid-19 yang rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Eropa. (*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | The Daily Mail,WebMD,WHO |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar