GridHEALTH.id - Di tengah pandemi corona yang konon mulai mereda di Tanah Air, Indonesia kembali digemparkan kabar puncak musim kemarau yang akan jatuh pada beberapa bulan ke depan.
Bukan lagi gelombang kedua virus corona, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, ada sejumlah daerah yang akan mengalami kemarau lebih kering karena kondisi hujan di bawah normal pada musim kemarau 2020.
Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG Miming Saepudin mengatakan, kondisi yang relatif lebih kering itu terjadi di sebagian Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan di bulan Agustus 2020.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa puncak musim kemarau ini akan bergeser maju ke bulan-bulan sebelumnya.
Baca Juga: Percayalah Wanita ini Sudah 70 Tahun! Tapi Bentuk Badannya Body Goals Banget, Bebas Keriput
Melihat hal tersebut, Kementerian Kesehatan RI memperingatkan akan adanya dampak buruk kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama musim kemarau yang dapat berpengaruh negatif di tengah pandemi corona.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wiendra Waworuntu mengingatkan tentang bahaya terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di masa pandemi Covid-19.
Menurut Wiendra, tingginya indeks standar pencemar udara (ISPU) di suatu daerah berbanding lurus dengan kasus kematian Covid-19.
"Kalau terjadi kebakaran hutan maka risiko (Covid-19)-nya pasti lebih tinggi. Dan besarnya angka kematian bahwa ini berbanding lurus dengan meningkatnya indeks standar pencemaran udara (ISPU)," kata Wiendra dalam konferensi pers online bersama BNPB, Jumat (8/5/2020).
"Artinya, kalau bener-bener karhutla itu kemungkinan orang yang ada Covid-19 di situ pasti tinggi juga kasusnya," ujar dia.
Baca Juga: Update Covid-19; Penularan Virus Corona Bisa Melalui Makanan, Ini Faktanya
Sebuah penelitian dari Harvard University bahkan mencatat ada 15 % kemungkinan kematian akibat kebaran hutan dan lahan saat pandemi corona.
Hal ini disebabkan oleh udara yang terpolusi dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap gejala Covid-19, seperti batuk dan sesak napas.
Bahkan, angka pencemaran udara akibat karhutla yang terjadi berbulan-bulan bisa mencapai 300 dalam indeks standar pencemaran udara (ISPU).
"Kadar ini sangat membahayakan, terutama bagi para manula, penderita jantung koroner, bayi, anak-anak, dan ibu hamil," ujar dokter Zulkifli Amin, dokter spesialis penyakit dalam dan respirologi RSCM, dikutip dari GridHEALTH.id.
Selain itu, jika sering terjadi otomatis polusi udara akan meningkat dan kualitas udara akan memperburuk yang bisa saja merusak suasana hati.
Pasalnya, penelitian dari Georgetown University, menyatakan sejak tahun 2010 polusi udara memiliki dampak negatif terhadap tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Baca Juga: Kisah 20 Selir Raja Thailand yang Diisolasi karena Covid-19 di Sebuah tempat Mewah di Pegunungan
Sebagai contohnya, akibat adanya kebakaran hutan seperti ini, risiko terkena berbagai penyakit pernapasan akan meningkat, pun biaya untuk berobat setiap orangnya juga akan bertambah. (*)
#hadapicorona #berantasstunting
Source | : | YouTube,Science Direct,GridHealth.ID |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar