Saat khawatir atau dilanda rasa stres akibat pandemi corona, banyak orang cenderung melampiaskannya pada asupan tinggi gula, lemak, dan karbohidrat.
Makanan dan minuman ini bertindak seperti obat penenang alami yang membuat pikiran rileks saat menghadapi bahaya.
Namun, sebenarnya solusi instan tersebut hanya jadi pemuas nafsu dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, makan sesuatu yang bikin nyaman justru menjebak seseorang untuk terus-menerus makan dan berakibat pada masalah kesehatan serius.
Dampaknya bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, obesitas, depresi, dan gangguan kecemasan.
Pasalnya, saat stres otak jadi memompa hormon stres kortisol dan adrenalin ke dalam aliran darah.
Pelepasan kortisol dan adrenalin itu diikuti pelepasan gula alami dari organ hati dan otot. Tujuannya untuk memberikan lonjakan energi agar tubuh waspada menghadapi "ancaman" stres atau suatu masalah.
Baca Juga: Mitos dan Fakta Tentang Obat Pengencer Darah yang Perlu Dipahami
Baca Juga: Orangtua Wajib Tahu, ASI dan Suplemen Tak Dapat Menggantikan Imunisasi
Studi lain menunjukkan, glukosa harus diisi kembali setelah pemicu stres berlalu. Semakin banyak glukosa yang dilepaskan untuk meredakan stres, praktis tubuh jadi kian terasa lapar.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar