GridHEALTH.id - Protokol New Normal Sudah Disusun, di Lokasi Ini Tak Mudah Dilakukan Karena Satu Hal Krusial.
Tak berapa lama lagi Indonesia akan memasuki era baru.
Era baru yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19 ini akrab disebut sebagai New Normal.
Untuk memasuki New Normal, protokol kesehatannya sudah disusun. Tinggal dijalankan.
Tapi ternyata di atas kertas saja untuk di tempat satu ini, pelaksanaan New Normal tidaklah mudah.
Penyebabnya oleh satu hal krusial.
Baca Juga: 3T dan Mobil PCR Kunci Sukses 519 Pasien Covid-19 di Surabaya Sembuh Hanya 5 Hari
Tidak lain dan tidak bukan adalah keterbatasan lahan di tempat-tempat tersebut.
Bagaimana nanti saat pelaksanaan New Normal diberlakukan?
Akankah kekhawatiran Presiden Jokowi munculnya klaster baru Covid-19 saat newe Normal bisa terjadi?
Baca Juga: Keracunan AC Mobil, Pasangan ASN Setengah Telanjang Pingsan dengan Mulut Berbusa
Menuju 'New Normal' bukanlah hal mudah.
Itulah yang terjadi, salah satunya pada sektor pasar tradisional.
Meski telah disusun protokol kesehatan untuk menghadapi 'New Normal', namun praktiknya menemui kendala.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ferry Juliantono menyampaikan, realisasi pelaksanaan protokol kenormalan baru di pasar tradisional tidak mudah.
Menurutnya, keterbatasan lahan pasar menjadi kendala utama untuk protokol kesehatan seperti menjaga jarak antar pedagang bisa dijalankan.
Baca Juga: Bak Seorang Psikopat, Wanita Ini Duduk Santai Usai Membunuh dan menguliti Teman Prianya
"Masing-masing pedagang itu mereka terlalu berdempet. Kita sudah usul supaya lahan parkir itu jadi penambahan lapak atau kios. Supaya jarak antara pedagang bisa terjaga," ujar Ferry saat diskusi virtual di Jakarta, Sabtu (6/6/2020).
Ferry menyebut diperlukan regulasi dan struktur baru agar penerapan new normal bisa efektif di lapangan.
"Saya sudah menyampaikan ke Menteri Koperasi dan UKM (Teten Masduki), saya bilang pak kita harus memberikan contoh penerapan protokol kesehatan di pasar," terangnya.
Baca Juga: Bak Seorang Psikopat, Wanita Ini Duduk Santai Usai Membunuh dan menguliti Teman Prianya
APPSI menyayangkan pemerintah tidak benar-benar memberi perhatian serius untuk pasar tradisional padahal berpotensi menjadi klaster baru Covid-19.
Ferry mencontohkan di DKI Jakarta misalnya dari 140 pasar yang ada hanya 10 sampai 20 pasar yang dilakukan penyemprotan disinfektan.
"Sisanya 120 pasar tidak ada tindakan dan alat yang memadai. Walhasil, kita APSSI dan paguyuban pasar melakukan persiapan secara mandiri. Kita sedih juga satu sisi punya kewajiban buka tapi sisi lain kita tidak dilengkapi dengan alat yang memadai," ungkapnya.
APPSI berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada pasar agar protokol kesehatan bisa dilaksanakan jauh lebih ketat.
"Faktanya kesadaran itu kalah oleh tuntutan orang yang mau berdagang dan orang yang mau beli/belanja," kata Ferry.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menyampaikan pemerintah secara adil memberi perhatian tidak hanya sektor ritel modern tetapi juga pasar tradisional.
Donny bertutur bahwa Presiden RI pernah membuat pernyataan terkait pasar tradisional yang ramai sehingga perlunya penjagaan jarak.
"Seperti di Bogor kemarin ramai menjelang lebaran. Presiden minta protokol kesehatan itu diperhatikan supaya tidak menjadi klaster baru. Kunjungan ke Summarecon Mall Bekasi sebagai wujud perhatian untuk kesiapan new normal saja tetapi bukan berarti pasar tradisional ditinggalkan," ucapnya.
Menurutnya, yang paling penting semua stakeholder harus bekerjasama agar protokol kesehatan ini dijalankan dengan disiplin.
"Saya kira akan ada sistem yang dibuat, mengenai pasar ada anggaran. Apakah itu anggaran drainase atau buka lahan baru supaya ada penjarakan hingga membangun tempat cuci tangan. Hal semacam itu saya kira menjadi perhatian pemerintah," tukas Donny.(*)
#brantasstunting
#HadapiCorona
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul New Normal di Pasar Tradisional Sulit karena Keterbatasan Lahan, Ini Kata Asosiasi
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar