GridHEALTH.id - Heboh belum lama ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebut kiamat sudah dekat. Kiamat yang dimaksud adalah penurunan drastis 80% populasi serangga di seluruh dunia.
Sebagaimana diketahui, saat ini baru 20% serangga dari 5,5 juta serangga di dunia yang teridentifikasi. Sisanya 80% dari populasi tersebut dan jumlahnya terus berkurang.
Lantas, bagaimana jika laju penurunan serangga terus terjadi? Tentunya keselamatan bumi akan terancam. Serangga dan tumbuhan adalah penyusun dasar kehidupan. Peran serangga sangat vital dalam ekosistem.
Menurut Djunijanti Peggie, peneliti bidang Entomologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, mereka adalah penyerbuk, pengontrol hama, pengelola limbah dan pengurai jasad manusia maupun hewan.
Selain itu, serangga adalah makanan bagi hewan lain. “Jadi bayangkan jika serangga punah akan banyak jasad yang menumpuk dan tidak terurai”, ungkap Djunijanti, seperti dikutip dari situs resmi LIPI (07/06/20)
Sebelumnya, Djunijanti juga pernah mengungkapkan pada webinar Kiamat Serangga (02/05/20) yang diselenggarakan oleh National Grographic Indonesia @NGIndonesia, bahwa status kiamat serangga ini memang nyata dan sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga: Pembatasan Jumlah Penumpang Dihapus, DPR : 'Jangan Korbankan Rakyat'
"Kita dapat berkontribusi dengan mengubah perilaku sehingga lebih ramah pada lingkungan, dapat menekan tingkat polusi, dan hidup berdampingan dengan serangga. Serangga tanpa manusia mungkin akan baik-baik saja, tetapi manusia tanpa serangga akan menuju pada kepunahannya sendiri," jelas Djunijanti.
Ia juga menjelaskan isu penurunan serangga sudah nyata terlihat. “Penyebab utama penurunan populasi serangga adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, penggunaan pestisida dan pupuk sintetis, serta adanya faktor biologis termasuk patogen dan spesies invasif,” paparnya.
Sebagai contoh, kupu-kupu Graphium codrus yang digunakan sebagai foto sampul majalah National Grographic Indonesia pada Mei 2020 bukanlah kupu-kupu endemik Indonesia, tidak langka, dan tidak terancam punah.
“Namun dengan status bukan endemik, bukan langka, dan tidak terancam punah ini pun ternyata jumlah spesimen Graphium codrus di Museum Zoologicum Bogoriense hanya ada 21 spesimen dari empat sub-spesies,” kata Djunijanti.
Bukan itu saja. Ia mengungkapkan masih ada empat subs-pesies di pulau-pulau kecil yang belum ada spesimennya di Museum Zoologicum Bogoriense. Kondisi ini menunjukkan bahwa menemukan kupu-kupu tak langka pun sudah cukup sulit.
Apalagi, lanjut Djunijanti, mendata dan memperoleh spesies yang tergolong endemik dan langka seperti Ornithoptera Croesus yang merupakan spesies endemik di Maluku Utara dan baru dimasukkan dalam daftar spesies dilindungi di Indonesia pada 2018.
Jika laju penurunan #serangga terus terjadi, keselamatan bumi akan terancam. Isu penurunan populasi & keanekaragaman #serangga sudah nyata terlihat. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, penggunaan pestisida dan pupuk sintetis, serta adanya faktor biologis. pic.twitter.com/YaOmZaBT1R
— LIPI (@lipiindonesia) June 5, 2020
Ia pun mengingatkan sudah saatnya setiap individu berkontribusi untuk menekan laju penurunan serangga yang terjun bebas. “Status kiamat serangga saya setuju dan sangat menghawatirkan," jelas Djunijanti.
Baca Juga: 3 Mahasiswi di Malang Temukan Teh Celup Cegah Kolesterol dan Penyakit Jantung
Baca Juga: Sindrom Mata Kering Jangan Dianggap Sepele, Bisa Menganggu Saraf di Otak Hingga Timbulkan Migrain
Pada 2017, laporan Caspar Hallman dari Universitas Radboud, Belanda, menemukan bahwa populasi serangga terbang di cagar alam Jerman menurun lebih dari 75% selama 27 tahun terakhir.
Bahkan, Bayo dan Wyckhuys melaporkan penurunan serangga tetap terjadi meskipun di kawasan cagar alam yang masih belum terjamah. (*)
Source | : | lipi.go.id,National Geographic |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar