GridHEALTH.id - Pandemi Covid-19 rupanya membawa berbagai dampak pada kehidupan manusia.
Bukan hanya dampak kesehatan, namun sebagian orang mengalami dampak buruk pada hubungan suami istri.
Baca Juga: Rekor Jateng Gegara Covid-19, 459 Istri di Kota Semarang Minta Cerai
Seperti yang terjadi di Kota Bandung, di mana diketahui jumlah janda meningkat tajam selama pandemi Covid-19.
Tak hanya itu, tingkat perselingkuhan pun lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Setidaknya, ada sebanyak 1.355 wanita menjadi janda baru.
Baca Juga: Masih Berani Berkeliaran Tanpa Masker? Siap-siap Rawat Orang dengan Gangguan Jiwa Seharian
Angka itu adalah perkara gugatan cerai yang udah diputuskan oleh Pengadilan Agama Bandung.
Sejak wabah Covid-19 dari bulan Maret hingga pertengahan Juni 2020, tercatat ada 1.449 gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung.
Ketua Pengadilan Agama Bandung, Acep Saifuddin mengatakan, rata-rata perceraian dipicu perselisihan atau percekcokan karena masalah ekonomi dan perselingkuhan.
"Macam-macam (penyebabnya), rata-rata berasal dari masalah ekonomi dan perselingkuhan. Jadi, memang yang paling banyak diajukan karena percekcokan itu," ujar Acep, dikutip dari Tribun Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Baca Juga: Angka Kanker Payudara Masih Tinggi Karena Banyak Perempuan Enggan Memeriksakan Diri
Menurut Acep, pasangan yang mengajukan perceraian pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari wiraswasta hingga aparatur sipil negara (ASN).
Rata-rata usia pernikahannya pun beragam.
"Banyak dari ASN Kota Bandung juga, tapi kalau jumlahnya itu harus melihat data dulu, tidak bisa dikira-kira," ucapnya.
Dikatakan Acep, sebelum naik ke persidangan biasanya pengadilan agama akan menyiapkan mediator untuk memediasi pasangan yang ingin bercerai.
Baca Juga: Di Tangan Kita Terdapat Koloni Bakteri Baik dan Bermanfaat Bagi Tubuh, Makan Pakai Tangan Sehat
Namun, kebanyakan selalu gagal dimediasi dan berakhir dengan perceraian.
"Akan ada waktu untuk mediasi selama 30 hari sesuai Perma nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan agama, kalau umpamanya mediasinya berhasil perkaranya dicabut," katanya.
"Rata-rata lebih banyak yang tidak berhasil ketika dimediasi, berarti mereka itu memang datang (ke pengadilan agama) sudah matang untuk bercerai, sedikit sekali yang dimediasi berhasil," tambahnya.
Berdasarkan data dari Pengadilan agama Bandung, jumlah gugatan yang masuk per-bulannya yakni pada Maret sebanyak 433 gugatan, April 103 gugatan, Mei 207 gugatan dan Juni sampai tanggal 24 mencapai 706 gugatan.
Sementara itu, angka perceraian di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, juga meningkat drastis dalam sebulan terakhir.
Data di Pengadilan Agama Cianjur mencatat, jumlah kasus perceraian yang masuk dan ditangani sepanjang Juni sebanyak 788 perkara.
Sementara di bulan Mei ada 99 perkara.
Pejabat Humas PA Cianjur Asep menyebutkan, dari jumlah kasus perceraian tersebut, perkara cerai gugat cukup tinggi dibandingkan cerai talak.
“Istri yang menggugat cerai suami lebih dominan, lima kali lipat jumlahnya dari perkara yang masuk,” kata Pejabat Humas PA Cianjur Asep saat ditemui Kompas.com di ruang kerjanya, Selasa (30/6/2020).
Adapun pemicu utama perceraian, disebutkan Asep, adalah faktor ekonomi keluarga.
Baca Juga: Kenapa Virus Baru Flu Lagi-lagi Pertama Kali Muncul di China, Setelah Covid-19 Kini Flu Babi G4?
“Terutama dari cerai gugat, berawal karena istri merasa nafkah yang dikasih suaminya kurang, tidak cukup, atau suaminya sama sekali tidak menafkahi. Bahkan, kelebihan harta juga bisa memicu perselingkuhan,” terang dia.
Selain ekonomi, faktor moralitas atau akhlak juga cukup tinggi menjadi penyebab gugatan cerai.
“Suami yang berselingkuh atau sebaliknya, dan beberapa kasus berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Asep.
Dijelaskan, beberapa perkara yang ditanganinya, bibit perceraian dimulai saat istri memutuskan bekerja karena suami menganggur atau malas bekerja sehingga nafkah yang diberikan kepada istri dinilai kecil.
“Namun, seiring berjalannya waktu, sang istri merasa dieksploitasi tenaganya oleh suami. Sehingga memicu pertengkaran rumah tangga,” katanya.
Terlepas dari itu, seorang pakar epidemiologi asal Inggris, Neil Ferguson menyebutkan jika adanya pembatasan sosial atau jaga jarak dapat membuat sepasang suami istri tak betah tinggal di rumah.
Hasilnya, percekcokan pun tak mungkin terelakan dan menimbulkan masalah tersendiri bagi pasangan tersebut. (*)
#hadapicorona
Source | : | Kompas.com,Tribun Jakarta |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar