Di sisi lain, pemeriksaan uji atau test Covid-19 memang hanya dua, yakni rapid test (serologis) dan PCR.
Serologis yakni menguji apakah ada zat anti (antibodi IgM) dengan mengambil sampel darah.
Sedangkan rt-PCR (real-time Polychain reaction) untuk menemukan adakah Covid-19 di tenggorokan dan hidung, maka dilakukan swab (apus tenggorok-hidung) untuk menemukan apakah Covid-19 hadir.
Kepentingan pemeriksaan uji atau test memang menentukan pilihan apa jenis pemeriksaannya.
Namun jika inging mengikuti perjalanan penyakit Covid-19 seseorang, Nadesul berpendapat tentu harus dilakukan tes keduanya.
Lantas, mengapa rapid test tidak boleh dan tidak perlu untuk screening saat mulai aktivitas masuk kantor?
Berikut penjelasan Nadesul dalam postingan di akun Facebook pribadinya, Rabu (8/7/2020);
1. Setiap penyakit infeksi, terutama virus, memiliki apa yang disebut “window period”, yakni sejak virus masuk tubuh sampai munculnya gejala/keluhan/tanda.
Pada Covid-19, window period-nya 7 hari. Pada masa 7 hari itu antibodi belum terbentuk. Kita tahu, setiap bibit penyakit masuk, tubuh merespon dengan pembentukan antibodi.
Dasar Rapid test itu pada kehadiran antibodi yang dibentuk oleh tubuh itu.
Baca Juga: Resmi! Kemenkes Tetapkan Besaran Tarif Tertinggi Rapid Test Rp150 Ribu
Source | : | |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar