"Dan memang diregulasi untuk terbang, untuk ini untuk itu, bahkan untuk ujian seleksi masuk (PTN) pakai itu, itu kan pemerintah mengharapkan rapid test itu dikomersialisasikan," jelasnya.
"Regulasi yang bikin siapa? Pemerintah. Yang membatasi harganya, pemerintah. Rakyat kan sudah termehek-mehek," sambung Pandu.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengalihkan anggaran rapid test untuk swab test melalui pemeriksaan PCR. Untuk itu sekali lagi ia mengimbau pemerintah menghapus rapid test.
Sebab, banyak sekali ditemukan hasil rapid test palsu. Disebut nonreaktif padahal positif, itu karena rapid test tak mendeteksi virus secara langsung melainkan melalui antibodi.
"Kalau itu ada dana yang digunakan pemerintah buat beli (rapid test kit) mereka juga rugi karena enggak ada gunanya untuk pandemi. Tapi kalau ada yang jualan gimana coba?" ungkap master Biostatistik dari Universitas Pittsburg, AS, ini.
"Ada 165 jenis rapid test. Dari awal pandemi BUMN memasukkan rapid test, buat apa? Kami sudah mengingatkan, kita tak butuh rapid test, butuhnya PCR," tegas Pandu.
Presiden Jokowi tampaknya kembali menunjukkan rasa tidak sukanya ketika menyinggung tambahan 2.657 kasus positif virus Corona (Covid-19) di Indonesia hari ini. Jokowi mewanti-wanti hal tersebut.
Baca Juga: Studi: Bayi Tidur Bersama Orangtua Hingga 1 Tahun Lebih Sehat dan Cerdas
Baca Juga: Lemah Menghadapi Gorengan? Gunakan Minyak Paling Sehat Ini Untuk Menggoreng
"Sebaran COVID di seluruh Tanah Air ini sangat tergantung sekali pada bagaimana daerah mengendalikannya. Dan juga perlu saya ingatkan, ini saya kira sudah lampu merah lagi, hari ini secara nasional kasus positif ini tinggi sekali hari ini, 2.657," ujar Jokowi saat meninjau posko Penanganan COVID-19 Kalteng di Palangka Raya, Kamis (09/07/20). (*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | Kompas.com,detik.com,Gridhealth.id |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar