GridHEALTH.id - Di tengah pandemi Covid-19, DBD atau demam berdarah dengue menjadi salah satu penyakit yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat di Indonesia.
Sama seperti virus corona, DBD juga penyakit mudah menular yang disebabkan oleh virus dengue. Sarana penularan DBD berasal dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpictus.
Menurut catatan Kementerian Kesehatan RI, sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Baca Juga: Waspada Ancaman DBD! Dokter Sebut Gigitan Nyamuk DBD Terjadi di Pagi dan Sore Hari
Hingga saat ini, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Sepanjang tahun 2020, tepatnya hingga 21 Juni 2020, Kementerian Kesehatan mengumumkan ada 68.753 kasus DBD di Indonesia dan tercatat 446 kasus kematian yang berhubungan dengan DBD.
Baca Juga: Waspada Infeksi Ganda, Kemenkes Beberkan Wabah Penyakit DBD Telah Mencapai 68.000 Kasus
Jika dibandingkan dengan tahun 2019 pada periode yang sama, jumlah total kasus DBD hingga Juni 2019 adalah sebanyak 105.222, dari jumlah itu ada 727 kasus kematian yang terjadi akibat DBD.
Sebagai salah satu penyakit menular, pasien DBD diperlukan rawat inap di rumah sakit, hal itu tak lain dilakukan agar pasien mendapatkan pengawasan yang lebih baik.
Meskipun terbilang penyakit menular, namun pasien DBD yang menjalani rawat inap tidak perlu menempati ruang isolasi.
Hal itu terjadi lantaran manusia tidak dapat menularkan virus dengue secara langsung pada manusia lain.
Sebab, hanya nyamuk aedes aegypti betina yang bisa memindahkan virus tersebut melalui gigitan. Nyamuk tersebut akan menularkan virus setelah menggigit manusia yang sudah terinfeksi sebelumnya.
Baca Juga: Indonesia Darurat Infeksi Virus, Total 34 Kasus Positif Covid-19 dan 104 Orang Meninggal Karena DBD
Dengan demikian, demam berdarah tidak dapat disebarkan langsung dari satu orang ke orang lain, sehingga pasien DBD tidak membutuhkan perawatan di ruang siolasi.
Sementara itu, ruang isolasi rumah sakit sangat penting bagi pasien yang memerlukan penanganan khusus yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan.
Faktor terpenting yang menentukan kapan seseorang dirawat di ruang biasa atau ruang isolasi rumah sakit adalah penyakit yang dideritanya. Apabila penyakitnya sangat menular, maka harus dirawat di ruang isolasi.
Namun, hal tersebut menjadi berbeda apabila pasien DBD juga diduga terpapar penyakit menular lainnya, seperti Covid-19.
Baca Juga: 15 Juni Diperingati Hari DBD ASEAN, Berikut Langkah Tepat Agar Terhindar dari Gigitan Nyamuk
Dikutip dari Kawal Covid19, salah seorang wanita yang merupakan pasien DBD yang juga termasuk ke dalam kasus suspek Covid-19 atau yang sebelumnya disebut PDP diharuskan menjalani perawatan di ruang isolasi selama sembilan hari.
Meski wanita bernama Mila itu belum dipastikan positif Covid-19, namun dikarenakan dirinya menunjukkan berbagai gejala Covid-19 seperti demam dan diare, maka sebagai tindakan pencegahan dia ditempatkan di ruang isolasi.
Baca Juga: Mengenal 3 Fase Demam Berdarah, Fase Kritis Perlu Dipantau Ketat
Sebab, untuk memastikan terkait dugaan infeksi virus corona pada dirinya, wanita tersebut memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.(*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | Kemenkes RI,Kawal Covid19 |
Penulis | : | Levi Larassaty |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar