“Dua minggu itu enggak masuk akal. Dari sisi inkubasi virus enggak masuk akal, dari sisi pencarian informasi upaya pencegahan yang efektif juga enggak masuk akal,” katanya dikutip dari Tirto.id (23/09/2020).
Bigwanto mengingatkan bahwa masa inkubasi virus itu dua pekan. Jadi jika misalnya hari ini kasus meningkat, maka kemungkinan infeksi terjadi sebelum Luhut ditunjuk. Jikapun Luhut berhasil menekan laju penularan, maka hasilnya akan baru terlihat setelah dua pekan.
Menurut Bigwanto, epidemiolog tak bisa dipatok tenggatnya karena epidemiologi dilandasi pada pemantauan jangka panjang alias surveilans.
Data-data terkait pandemi harus dikumpulkan, diolah, dianalisis, kemudian diinterpretasi. Proses pengumpulan data itu dilakukan secara sistematik dan terus menerus supaya didapat informasi yang tepat untuk merumuskan kebijakan pencegahan yang juga efektif.
Salah satu contohnya adalah kebijakan pelarangan masker scuba. Ini didasari pada pemantauan kasus penularan terhadap mereka yang bermasker tetapi tidak sesuai standar.
Contoh lain ialah terjadinya banyak kasus infeksi di ruang tertutup sehingga disimpulkan bahwa Covid-19 bersifat airborne (menular lewat udara).
Baca Juga: Studi: Ibu Hamil Terinfeksi Virus Corona Berpotensi Alami Pneumonia
“Kebijakan yang diperbarui tersebut dipantau penerapannya dan dilihat peningkatan kasusnya, apa betul efektif menekan kasus,” kata dia.
Source | : | Kompas.com,Tirto Id,kumparan.com |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar