GridHEALTH.id - Pandemic Fatique adalah sebuah kondisi kejenuhan yang muncul secara alami pada setiap manusia terhadap situasi pandemi.
Walhasil kita akan menjadi manusia pasrah yang tidak logis, dan menentang kondisi.
Setelah gejala itu muncul, maka yang terjadi kepatuhan terhadap protokol kesehatan pandemi Covid-19 akan diabaikan.
Hal ini tentu tidak kita inginkan. Apalagi saat ini walau masih PPKM, kondisi pandemi Covid-19 sudah mulai membaik.
Buktinya, kasus terus menurun, angka kematian akibat Covid-19 menurun, rumah sakit tak lagi penuh sesak oleh pasien Covid-19, pusat perbelanjaan sudah mulai dibuka, bahkan sekolah tatap muka dibeberapa wilayah sudah mulai dilakukan secara terbatas.
Jika pandemic fatique ini banyak dialami oleh masyarakat Indoensia. Maka pandemic fatique bisa menjadi maslah baru disutuasi pandemi Covid-19 bagi pemerintah.
Baca Juga: Buah Parijoto Warisan Sunan Muria, Harapan Perempuan yang Ingin Segera Hamil
Sebab pandemic fatique ini membahayakan tidak saja bagi seseorang atau satu keluarga, tapi membahayakan semua manusia yang ada dilingkungannya.
Mengatasi Pandemic Fatique
Untuk mengetahu kita sudah mengalami pandemic fatique atau belum, bisa dilihat dari, "Untuk satu tahun kita mengalami pandemi saya lihat fluktuatif. Sekarang lagi menurun nanti naik lagi itu tanda bahwa sebenarnya kita mungkin sudah punya gelombang pandemic fatigue.
Misal Hari Raya Orang Indonesia paling sulit untuk mempertahankan protokol kesehatan. Lebih mengutamakan relasi keluarga dan kesenangan," kata Daisy Indira Yasmin, seorang sosiolog, dalam acara Forum Ngobras Bersama Frisian Flag bertema "Refleksi Setahun Pandemi, Masyarakat Semakin Abai atau Peduli" pada Senin (22/3/2021).
Untuk itu, menurut Daisy, ketahanan keluarga penting di masa pandemi Covid-19 untuk mencegah anggota keluarga mengalami pandemic fatique.
Bagaimana cara mengatasi pandemic fatique?
Pertama, tetap harus ada regulasi kalau secara sosiologi harusnya regulasinya ada berbasis data, penelitian, tidak bisa pukul rata, dan disesuaikan oleh kelompok-kelompok sosial yang ada.
Kedua, community based solution. Melibatkan anggota masyarakat dan komunitas sebagai bagian dari solusi bukan sebagai objek kebijakan.
Ketiga, membuat manusia tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari tapi mengurangi risiko penularan atau tertular dan memahami kesulitan.
"Pandemi menyumbang kerentanan dalam keluarga misalnya ekonomi karena kekurangan pendapatan, emosional karena kehilangan anggota keluarga, perubahan relasi antar keluarga, peran, kesehatan fisik dan mental termasuk di dalamnya tumbuh kembang anak," jelas Daisy.
Untuk itulah, setiap keluarga perlu untuk;
1. Mengurangi sumber beban yang negatif atau stressful, adanya daya dukung pemenuhan basic need, pekerjaan, dan aktivitas anak.
2. Menambah hal-hal positif: membangun relasi yang suportif dan responsif di antar anggota keluarga, membangun relasi dengan komunitas atau ketetanggaan, dan menggunakan virtuality untuk meningkatkan engagement antar anggota keluarga.
Baca Juga: Peringatan dari CDC; yang Sudah Disuntik Vaksin Masih Bisa Tularkan Covid-19 Pada Oranglain
3. Memindahkan titik tumpu: memberi ruang pada kemampuan kita membangun skill managing daily life dengan fokus mengenali cara mengatasi sumber-sumber negatif, sehingga mudah menjalani hidup selama pandemi.
Hal itu bisa dilakukan oleh kita semua. Sebab sejatinya setiap manusia menurut Daisy dibekali kemampuan beradaptasi pada situasi yang ada, tetapi tiap orang memiliki cara dan tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Ini harus ditemukan oleh setiap orang dengan cara positif dan tersalurkan dengan cara yang postif juga.(*)
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar