Sebagai informasi, diketahui bahwa lokasi penelitian Vaksin Nusantara ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr Kariadi Semarang. Sedangkan, komite etik vaksin ini ada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta.
Di dunia internasional atau berlaku universal, suatu standar yang disebut The International Conference on Harmonization - Good Clinical Practice (ICH-GCP) digunakan sebagai standar kualitas etik dan ilmiah.
Standar ini dipergunakan untuk dijadikan acuan dalam mendesain, melaksanakan, mencatat, dan melaporkan uji klinik yang melibatkan subjek manusia. Standar ini tidak dipenuhi dalam pengembangan Vaksin Nusantara.
Ditegaskan Erlina, hal ini penting untuk melindungi hak asasi manusia dan juga bentuk upaya menjaga keselamatan manusia yang menjadi subyek uji klinik.
"Jadi standar patient safety (keselamatan pasien atau partisipan) itu harus dipertahankan," tegasnya.
Baca Juga: Cara Diabetes Merusak Kesehatan Paru, Lakukan Ini Untuk Menanganinya
3. Tidak ada uji praklinik pada binatang
Pada Novermber 2020 lalu, tim peneliti mengajukan 1 protokol untuk semua tahapan uji klinis (fase 1-3). Namun, kata Erlina, pengajuan ini tidak disetujui oleh Badan POM karena belum sesuai dengan standar pengembangan obat dan vaksin.
"Karena seharusnya, fase 1 itu satu protokol, fase 2 itu satu protokol dan fase 3 satu protokol dan seterusnya," kata Erlina.
Kemudian dilanjutkan, uji klinis fase 1 ini juga tidak disertai data pengujian praklinis.
BPOM meminta laporan studi toksisitas, imugenesitas dan studi lain untuk mendukung pemilihan dosis dan rute; tetapi permintaan tidak dipenuhi dengan justifikasi sudah lama digunakan pada manusia dan bersifat autologus.
Baca Juga: Booster Vaksin Moderna Efektif Lawan Omicron, Antibodi Meningkat 37 Kali Lipat
Source | : | Kompas.com,TribunPalu.com,Rmol.id |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar