GridHEALTH.id - Terapi plasma konvalesen telah lama diperkenalkan selama >100 tahun yang lalu.
Tepatnya pada tahun 1918 saat pandemik influenza atau yang dikenal dengan “Spanish Flu”.
Saat itu pemberian plasma konvalesen dianggap berhasil menurunkan fatality rate dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan plasma.
Sejak saat itu Terapi Plasma Konvalesen (TPK) merupakan suatu pilihan alternatif disaat terapi yang lain belum tersedia, seperti pada kejadian luar biasa Hantavirus di perang Korea.
Bahkan di abad 21, TPK juga digunakan pada kejadian luar biasa seperti Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS CoV), Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), dan Ebola.
Pada situasi pandemi COVID-19 ini, terutama saat awal masa pandemi, dimana saat itu belum ada satupun obat atau terapi yang terbukti efektif untuk menyembuhkan COVID-19, penggunaan TPK menjadi salah satu alternatif yang dapat dicoba untuk diberikan pasien COVID-19.
Baca Juga: Sudah 3,4 Juta Masyarakat Indonesia Divaksin Booster Covid-19 Sejak 12 Januari 2022
Saat awal pandemi Covid-19, melansir Laporan Uji Klinis Pemberian Plasma Konvalesen Sebagai Terapi Tambahan Corona Virus Disease 19 (COVID-19)-PlaSenTer (David Muljono dkk-Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI 2020), beberapa studi kasus awal pada sekelompok kecil pasien, penggunaan TPK diduga efektif untuk menurunkan angka kematian akibat COVID-19.
Studi-studi awal yang dilakukan tersebut umumnya tidak menyertakan kontrol atau terapi pembanding, tidak melakukan randomisasi (non-randomized trial), dan menyebutkan bahwa TPK
aman digunakan, sehingga pada akhirnya Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau United States Food and Drug Ad-ministration (US-FDA) mengeluarkan izin penggunaan TPK dalam kerangka Emergency Use Authorization (EUA) di bulan Agustus 2020.
Namun seiring dengan munculnya beberapa studi yang lebih kuat dengan desain Randomized Controlled Trial (RCT), penggunaan TPK secara luas dan masif sebaiknya ditinjau ulang berdasarkan data-data ilmiah terbaru.
Baca Juga: Jika Dosis 1 dan 2 Mendapat Sinovac, Untuk Booster Baiknya Vaksin Covid-19 Ini
Berita terbaru mengenai Terapi Konvalesen sebagai terapi pengobatan bagi pasien Covid-19, beberapa hari lalu lima organisasi profesi kedokteran mengeluarkan panduan Pedoman Tatalaksana Covid-19 edisi 4.
Satu di antaranya mengatur penggunaan obat dan terapi Covid-19.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Sally Aman Nasution mengatakan, berdasarkan bukti ilmiah terbaru terdapat obat-obatan Covid-19 yang sebelummya digunakan tapi kini tak lagi dipakai, lantaran tak memiliki manfaat.
"Ada beberapa terapi dan obat-obatan dulu dimasukan ke dalam buku tata laksana berdasarkan bukti ilmiah yang baru tidak terbukti manfaatnya," kata Sally dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/2/2022).
Adapun obat dan terapi tersebut adalah Plasma Konvalesen, anti virus Oseltamivir, anti biotik Azithromycin, Klorokuin, dan Ivermectin.
"Itu kita tidak masukkan lagi, karena bukti ilmiahnya tidak cukup," imbuhnya.
Saat ini terdapat dua obat antivirus yang baru sebagai pilihan sesuai indikasi dan ketersediaan yaitu Molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
Kedua obat ini sudah dipakai sebagai obat antivirus untuk Covid-19 di berbagai negara.
Mengenai hal itu, Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Erlina Burhan menambahkan, untuk saat ini ada empat obat antivirus yang digunakan yakni Remdesivir, Favipiravir, Molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
Baca Juga: Lakukan 5 Tips Ini Untuk Meredakan Nyeri Menstruasi di Rumah
"Bahkan Ivermectin enggak pernah jadi obat standar. Hanya dinarasikan buku edisi 3, Ivermectin masih dalam uji klinis," paparnya.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai negara prihal TPK, menunjukan secara umum terapi plasma konvalesen masih diragukan efektivitasnya untuk penyakit COVID-19.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simonovich et.al. (NEJM, 2021), Agarwal et.al. (BMJ, 2020), Liu et.al. (Nat. Med, 2020), Salazar et.al. (Am. J. Pathol., 2020), dan Li et.al. (JAMA, 2020), menunjukkan bahwa pemberian plasma konvalesen pada subjek dengan kondisi COVID-19 sedang hingga kritis, tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dalam hal penurunan angka kematian, durasi rawat inap, ataupun per-burukan penyakit jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil yang tidak efektif tersebut dimungkinkan karena titer antibodi plasma donor yang rendah atau donor berasal dari penyintas COVID-19 usia muda dan penyakit ringan (Agarwal et.al, BMJ, 2020), alasan lain adalah sebagian besar resipien sudah memiliki antibodi netralisasi bahkan sebelum diberikan terapi plasma (Gharbharan et.al., medRxiv, 2020), sehingga fungsi terapi plasma sebagai immunoterapi pasif tidak membuahkan hasil yang bermakna.
Baca Juga: Bayi Jangan Dipakaikan Masker, Berbahaya! Hal Tidak Diinginkan Seperti Ini Bisa Terjadi
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan pemberian terapi plasma konvalesen mungkin akan memberikan efek terapi bila plasma donor dengan titer antibodi yang tinggi diberikan pada resipien kurang dari 72 jam dari onset gejala, pada COVID-19 derajat ringan yang memiliki risiko progresivitas penyakit menjadi berat (Libster et.al., NEJM, 2021), atau bila diberikan pada kelompok pasien yang tidak menerima ventilasi mekanik dan diberikan dalam waktu 3 hari pasca diagnosis COVID-19 ditegakkan (Joyner et.al., NEJM, 2021).
Berkaitan dengan pemberian plasma konvalesen pada COVID-19, Cochrane LSR (update pencarian studi yang sudah selesai maupun berlangsung pada 19 Agustus 2020) menyebutkan belum
meyakini bahwa terapi plasma dapat menurunkan angka kematian pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit.
Hasil review menunjukan risk ratio (RR) 0,55, 95%, confidence interval (CI) 0,22 - 1,34, yang berarti angka kejadian kematian di kelompok plasma lebih rendah 45% daripada kelompok kontrol, namun hasil ini juga tidak bermakna.
Hasil lainnya juga diragukan bahwa plasma konvalesen berpengaruh terhadap kematian (memperlambat kejadian/time to event, Hazard Ratio (HR) 0,64, 95% CI 0,33 - 1,25).
Hal ini terlihat dari angka HR 0,64 yang berarti kematian pada kelompok plasma terjadi lebih lambat dibandingkan kelompok kontrol namun tidak bermakna menurut uji statistik karena rentang HR mulai dari 0,33 hingga 1,25.
Baca Juga: Untuk Minum Pilih Air Mineral atau Demineral? Jangan Menyesal Jika Salah Pilih
Artinya ada kemungkinan HR>1 (rentang HR melewati angka 1,0), yang berarti kematian di kelompok plasma lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol.
Plasma konvalesen secara statistik hampir tidak bermakna terhadap perbaikan klinis (misalnya kebutuhan alat bantu respirasi) selama 7 hari pertama (RR 0,98, 95% CI 0,30 - 3,19).
Perbaikan mungkin terjadi pada analisis 15 hari pertama (RR 1,34 95% CI 0,85 - 2,11), dan 30 hari pertama (RR 1,13, 95% CI 0,88 -1,43).
Hasil-hasil pokok yang disebutkan pada LSR tersebut memiliki tingkat keyakinan (kepercayaan) yang rendah terhadap bukti ilmiah yang diperoleh, disebabkan hanya terdapat 2 studi RCT dan kebanyakan studi tidak menggunakan metode yang dapat diandalkan dalam mengukur hasil-hasilnya.(*)
Baca Juga: 4 Makanan dan Minuman Ini Ternyata Bisa Mencegah Kanker Prostat
Source | : | Uji Klinis TPK |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar