Dengan demikian, maka klaim hanya dari satu pasien yang menyatakan sembuh setelah disuntik vaksin tidak bisa jadi dasar persetujuan BPOM, FDA, EMA, atau NHS untuk dijadikan pengobatan.
Oleh karena itu, ia mendorong untuk dilakukan uji klinis lebih lanjut untuk mengetahui keamanan dan keefektifan vaksin Nusantara tersebut.
"Tetap harus melalui uji klinik 1,2, dan 3, yang kemudian dinyatakan efektif dan aman pada skala besar," pungkasnya.
Dikutip dari iasmed.org, uji klinis sendiri adalah setiap tindakan eksperimen pada manusia yang dilakukan untuk mempelajari efikasi dan keamanan produk.
Dimana orang yang menjadi sampel bisa sampai ribuan atau puluhan ribu, serta waktu yang dibutuhkan pun tidak sebentar bahkan bisa bertahun-tahun.
Dalam uji klinis, terdapat empat fase yang harus dilalui suatu produk sebelum dinyatakan sebagai obat atau vaksin.
Pada fase I, dosis produk akan diuji pada manusia sehat (melibatkan sedikit subjek penelitian), untuk melihat bagaimana tubuh manusia memetabolisme vaksin tersebut.
Apakah hasilnya sama dengan apa yang terjadi pada hewan. Jika lolos uji klinis 1 maka produk boleh melanjutkan ke uji klinis fase 2.
Fase II, dalam tahapan ini percobaan akan dilakukan secara spesifik pada manusia sakit, tergantung pada tujuan dan sesuai produk yang sedang diuji.
Misalnya dalam kasus Covid-19 ini, berarti manusia sakit yang di uji adalah pasien positif virus corona.
Namun, manusia sakit yang menjadi percobaan tidak sembarangan, mereka harus menandatangani perjanjian hukum yang diawasi oleh kode etik dan pemerintah, serta produknya pun masih belum boleh dipasarkan.
Source | : | Iasmed.org,Cnbcindonesia.com |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar